Rabu, 02 September 2009

Kyai Karbitan VS Kyai Kagetan


KYAI KARBITAN VS KYAI KAGETAN
Oleh : M.Muslih Fathoni*

Dalam berbagai kesempatan baik secara lisan maupun tulisan Gusmus -begitu sapaan akrab KH.Musthofa Bisri- sering menyindir maraknya kyai karbitan dewasa ini. Sebuah sindiran yang ditujukan kepada mereka yang sebenarnya sangat jauh dari layak untuk dikatakan sebagai kyai. Hal ini bukan berarti Gusmus kebakaran jenggot karena (maaf) peluang Gusmus berkurang, sama sekali tidak seperti itu. Kyai merupakan gelar kehormatan atau bisa disebut honoris causa dari masyarakat, diberikan masyarakat kepada seseorang yang dianggap faham tentang syari’at agama Islam, bukan gelar akademik yang bisa ditempuh dengan jenjang study. Permasalahannya menjadi semakin runyam ketika orang yang awam tentang agama kemudian mengkyai-kyaikan diri dan dipertragis lagi dengan keikut sertaannya berfatwa masalah agama, menjawab masalah-masalah seputar akidah, mu’amalah, ataupun fiqhiyyah yang lain. Sementara media baik cetak maupun elektronik tidak mau ambil pusing dengan semua itu. Apapun, siapapun yang dianggap sedang up to date dan marketable maka media akan mem baeck up secara besar-besaran, sehingga tidak hanya artis yang dikarbit lewat almamater KDI, Indonesia Idol, dan sejenisnya, tapi muncul juga kyai-kyai karbitan hasil orbitan media masa secara massif. Berangkat dari sini akhirnya keislaman masyarakat lebih mendekat pada life style ketimbang agama itu sendiri, memakai krudung bukan berarti taat pada agama, tapi lebih cenderung karena lagi musim dan sedang trend, memaskan anak ke Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) bukan atas kesadaran betapa pentingnya arti faham al Qur’an dalam jangka panjang, tapi lebih mendekat pada karena tetangga sebelah juga anaknya masuk TPA. Siapapun yan msih punya kearifan beragama akan merasakan keprihatinan yang mendalam ketika gelar kyai disematkan pada orang yang tidak spantasnya menerima sebutan itu, bukan hanya umat yang menjadi korban fatwa sesat mereka, tapi keseimbangan alam akan ikut terusik ketiaka penghuninya sudah melampaui batas kewajaran seperti itu.

Istilah kagetan sudah sangat akrab ditelinga kita, rilisan pada salah satu edisi majalah TEMPO, konon katanya diantara pesan yang dititipkan mahagurunya mantan presiden Soeharto ialah ojo gampang gumun (jangan mudah heran). Sementara KH. Hasyim Wahid (gus Im) lewat sindiriannya, mengatakan bahwa sebenarnya kita masih gampang kagetan dengan berbagai hal yang baru, apalagi terkesan modern, canggih. Perkembanagn zaman diberbgai lini telah tampak nyata depan mata kita, sehingga dunia seakan-akan sekarang sudah terasa sangat kecil bahkan bisa digenggam tangan. Apapun yang terjadi dimuka bumi ini, baik yang layak dilakukan manusia, ataupun yang layak dilakukan hewan tapi manusia melakukannya bahkan memodifikasinya dengan hal yang lebih parah, semuanaya akan dengan mudah diakses. Begitu juga dengan berbagai penemuan-penemuan diberbagai bidang, ekonomi, budaya, teknologi, semuanya akan dengan cepat orbit mendunia. Sekali lagi dengan catatan baik yang layak untuk manusia ataupun yang mencelakakan manusia.

Pesantren sebagai wadah pencetak para kyai memang sudah teruji pertahanannya dalam rentang waktu ratusan tahun, sumbangsihnya terhadap stabilitas bangsa ini juga sangat terasa, walau tidak banyak tercover oleh media. Para santri yang layak juga disebut para kandidat kyai, mereka terbiasa hidup dengan satu irama, satu komando bahkan satu faham agama. Keseharian para santri yang terbiasa melihat satu warna itu, tidak sedikit para santri yang kemudian terjun ke masyarakat -yang dikemudian hari dipanggil kyai- mengalami sindrom kagetan ini. Para santri yang seharusnya punya otoritas berbicara masalah agama, justru ditinggalkan umat karena sindrom kagetan ini. Di zaman yang masyarakatnya sudah punya kecenderungan lebih memilih ke super/mini market ketimbang ke pasar wage seperti sekarang ini, masyarakat sangat perhatian dengan kemasan, para santri yang belum menemukan formulasi yang pas buat masyarakat atau bisa disebut gagal mengemas produk, maka santri ini akan terjrembab pada miskomunikasi dengan umat. Ketika pada corong komunikasi santri sudah gagal, maka tujuan utama dakwah akan mampet sampai disini. Berangkat dari sini santri dizaman sekarang pada dasarnya punya tantangan jauh lebih berat ketimbang santri zaman dulu. Para santri sekarang dituntut harus melek, melek wacana, melek informasi, melek dengan berbagai peluang. Apapun yang bisa menyempurnakan sesuatu yang wajib, dan yang wajib tidak bisa sempurna kecuali dengan memenuhi hal tersabut, maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula hukumnya. Apapun yang mendukung dakwah santri supaya bisa sampai pada tujuan, maka hal tersebut sebuah keharusan bagi santri untuk menempuhnya. Dengan jumlah pemeluk Islam di Indonesia yang begitu besar ini, bahkan negara terbesar dunia yang memeluk agama Islam, maka para kyai, cendikiawan muslim, para sarjana muslim, para santri, sudah saatnya bersinergi untuk menata umat yang begitu besar dan multiproblem ini. Kuantitas yang begitu besar ini jangan hanya jadi lahan eksploitasi para kapitalis, dengan pengemasan mereka yang begitu cantik, dengan polesan mambu mambu islam. Fashion Islami, seluler Islami, perbankan Islami, sementara para santri terus digilas oleh system yang sistematis dan mengglobal ini. Stop karbitan dan hindari kagetan !!!.
Wallahu a’lam..


*Penulis pernah ikut belajar Uqud al Juman di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Lirboyo Kediri, dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin&Filsafat Jurusan Tafsir Hadits The State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam blog ini