Rabu, 17 Februari 2010

Mekkah, Madinah, Titik Pusat Peradaban Bumi dan Langit

Judul buku : MEKKAH; Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim & MADINAH; Kota Suci Piagam Madinah dan Teladan Muhammad Saw.
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : KOMPAS
Terbit : Agustus 2009 & Nopember 2009
Tebal : xviii+374 halaman & xxiv + 488 halaman
Resensi oleh : Muslih Fathoni

Mekkah dan Madinah, adalah dua kota bersejarah yang sangat disucikan umat Islam. Keduanya memang mempunyai daya tarik tersendiri untuk dikenali lebih dalam. Apa sebenarnya yang membuat kedua kota ini menjadi istimewa. Melalui berbagai pendekatan, Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU, mencoba mengajak kita untuk berkenalan dengan dua kota agung ini. Tidak tanggung-tanggung, tokoh muda ini meluncurkan dua buku sekaligus untuk menuntaskan hasrat keingin tahuan kita.
Bukunya yang pertama, MEKKAH; Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim, mengajak kita berjalan lebih jauh menyusuri potret kota Mekkah secara lebih utuh. Dalam buku ini, diperkenalkan kota Mekkah dari sisi geografis, kondisi sosial pra-Islam, hingga Mekkah di era Modern. Kita juga diajak merenung bahwa ternyata Mekkah mempunyai hubungan yang dekat, dan cukup erat dengan agama-agama samawi yang ada di planet ini. Seluruh agama samawi memiliki keterkaitan sejarah dengan kota ini.
Yahudi dan Kristen adalah dua agama yang mempunyai kaitan geneologi dengan Ishaq. Sedangkan Islam mempunyai garis geneologi pada Isma’il. Ishaq dan Isma’il adalah dua putra Ibrahim yang lahir dari rahim ibu yang berbeda. Dengan demikian, ketiganya bertemu pada titik Ibrahim.
Mekkah memang merupakan kota tua yang mempunyai sejarah panjang. Al-Razi (1993) dalam tafsirnya menjelaskan, Mekkah pra-Islam adalah tempat yang banyak dikunujungi oleh orang luar. Di antara hal yang menjadi daya tarik kota Mekkah ialah ka’bah. Sebuah bangunan yang berbentuk kubus dan dijadikan sebagai pusat peribadatan. Abrahah datang ke Mekkah dengan sejumlah tentaranya berniat untuk menghancurkan tempat itu dengan tujuan mengalihkan perhatian orang-orang agar datang ke gereja yang dibuatnya di Yaman. Gereja tersebut dikenal dengan nama “Ecclesia”, tetapi misi itu gagal total, karena tiba-tiba datang sekelompok burung yang menggagalkan misi itu. Cerita ini sangat familiar di kalangan umat Islam, karena tragedi ini diabadikan dalam al-Qur’an surat al-Fiil:1-5.
Adanya ka’bah yang terletak di kota Mekkah ini memang menjadi pusat perhatian tersendiri. Umat Islam di seluruh penjuru dunia, diwajibkan melakukan shalat lima kali dalam sehari. Dalam shalat umat Islam diharuskan menghadap pada arah kiblat. Kiblat itu tidak lain adalah ka’bah di kota Mekkah. Di kota Mekkah ini, tepatnya di depan ka’bah, umat Islam sedunia melakukan thawaf bersama ketika melakukan ibadah haji atau umrah. Ka’bah menjadi simbol pemersatu umat Islam sedunia, pada titik ini umat Islam sejenak melupakan aspek-aspek perbedaan pendapat, yang pada tataran tertentu telah mencabik-cabik ukhuwah (persaudaraan) umat Islam itu sendiri. Ka’bah memang mempesona, dilirik dari sudut pandang manapun juga.
Sementara pada buku kedua, yang berjudul MADINAH; Kota Suci Piagam Madinah dan Teladan Muhammad Saw., Zuhairi menyodorkan kepada pembaca untuk memahami sebuah fakta bahwa nilai-nilai dasar demokrasi yang terbuka dan toleran telah diperkenalkan, dipraktekkan, bahkan dikokohkan oleh Rasulullah melalui Piagam Madinah. Betapa Muhammad Saw. sangat menghormati perbedaan dan tidak mengedepankan ego ke-kami-annya. Muhammad saw. mau menggunakan pendekatan ke-kita-annya walaupun power sistem sedang berpihak kepadanya.
Madinah juga menarik untuk dikaji karena, ia mempunyai nilai sejarah yang agung terkait hijrahnya Rasulullah dari kota kelahiran menuju kota ini. Walaupun Muhammad berstatus pendatang di kota ini, namun dalam perjalanannya, Madinah justru diidentikkan dengan Muhammad Saw. Hal ini tentunya karena Muhammad memang telah berhasil mengukir dan menorehkan sejarah dengan tinta emas di kota ini. Bukti paling konkrit atas peran Muhammad saw. di kota ini adalah, lahirnya Piagam Madinah, yang menandakan lahirnya sebuah zaman baru pada masa itu. Di mana kepemimpinan berdasarkan kesepakatan bersama, dan seorang pemimpin merupakan simbol dari kepemimpinan kolektif. Penghargaan yang tinggi terhadap Pluralitas. Bertolak dari tonggak sejarah ini telah melahirkan pula inspirasi bagi negara-negara yang mayoritas muslim untuk membangun negaranya dengan pondasi demokrasi.
Membaca kedua buku karya Zuhairi Misrawi ini, akan serasa menyelami dua kota suci Mekkah dan Madinah melalui pendekatan regresif dan progresif. Sesekali angan kita ditarik mundur kebelakang menengok sejarah sejak zaman pra-Islam, namun sesekali kita juga didorong untuk melompat dengan disuguhkannya informai-informasi tentang Mekkah dan Madinah di era modern ini. Pendekatan yang digunakan dalam buku ini juga terbilang unik. Jika pada umumnya sejarawan muslim mencoba melihat kedua kota ini melalui pendekatan teologis, sedangkan orientalis mencoba melihat dari segi sosiologis-antropologis, maka buku ini mencoba memadukan antara dua pendekatan tersebut. Dan hasilnya, kedua buku ini mencoba menawarkan cara keberagamaan yang tetap terikat pada unsur langit (ketuhanan), namun tidak harus me-nomor dua-kan pergulatan sosial mewarnaianya, sebagai bagian unsur bumi yang tampak dan nyata pada masanya.
Buku sebenarnya telah menyajikan ulasan yang cukup utuh. Hanya saja, kedua buku ini sepertinya masih bingung menentukan statusnya sebagai buku ilmiah atau buku populer. Ini terlihat dari banyaknya referensi yang dipakai. Namun, agar tidak tampak sebagai buku ilmiah, catatan kaki sengaja dihilangkan untuk menghilangkan kesan buku ilmiah. Di beberapa bagian, terlihat adanya kecelakaan tulisan, sehingga mengurangi alur kenikmatan bacaan. Namun dengan diterbitkannya kedua buku ini, dengan pendekatan yang dipakainya, paling tidak sudah dapat mengambarkan kapada kita kedua kota suci ini secara lebih utuh. Tidak dimonopoli tinjauan teologis.
Ka’bah sebagai pusat kosmos spiritual, serta satu-satunya kiblat ibadah umat Islam, dan Madinah yang telah memperkenalkan nilai-nilai kebersamaan dalam keberagamaan, keberbangsaan, dan kebernegaraan telah memberikan kepada kita pelajaran yang berharga. Selanjutnya, adalah tugas kita menjaga nilai-nilai yang telah diajarkan Mekkah dan Madinah, terutama untuk bangsa kita saat ini bukan? [ ]

Selasa, 16 Februari 2010

KH. CHALWANI

Kyai Chalwani waktu nyantri di Lirboyo mondok di Kyai Marzuqi. Santri lirboyo sudah ada sekitar 2000-an, yang di madrasah jumlahnya enamratus lebih dan yang ngaji saja sekitar tujuhratus lebih, itu jumlah total baik yang di Induk maupun di HM. Di pondoknya Kyai Mahrus sekitar limaratusan dan didominasi oleh anak Cirebon dan Brebes.
Di mata KH. Chalwani, Kyai Marzuqi Dahlan merupakan figur pesantren yang sebenar – benarnya, yang benar - benar tampil dua puluh empat jam. Istilahnya Kyai Chalwani bisa disebut “ al ma’had al hakiki ”. Kyai Marzuqi juga sangat keras dalam aturan. Ketika ada kejadian yang melanggar syari’at atau ada santri yang nakal, beliau langsung mendatangi kamarnya sambil gedok – gedok atau ketok – ketok pakai tongkat sehingga santri – santri pada kabur semuanya. Berbeda dengan Kyai Abdul Karim yang ketika ada santri yang sa’karepe dewe (seenaknya sendiri) didiamkan saja. Karena Kyai Abdul karim orangnya sangat santai sekali. Pernah ada santri yang melanggar aturan, terus di ta’zir (digundul atau digrujud ) Kyai Marzuqi menunggui ta’ziran tersebut sambil ngendika kepada santri yang di ta’zir ” niku meripate sampean...niku disabuni, damel ningali gudang garam mawon....”.
Kyai Marzuqi paling tidak suka santrinya belajar semacam ilmu hikmah seperti kitab syamsul ma’arif dan Kyai mengajarkan kepada para santri agar selalu bersikap husnudzonan. Bahkan misalnya ketika ada sepasang lelaki dan perempuan dalam satu becak. Kita harus tetap berhusnudzon kalau itu adalah istrinya. Meskipun dalam kenyataannya itu bukan istrinya. Sehingga dengan itu kita tidak akan mendapat kesalahan dari Allah dan kesalahan hanya terletak kepada mereka sendiri.
Yang terkesan dari Kyai Marzuqi, ketika ada santri yang izin pulang, beliau biasanya mendo’akannya semoga bermanfaat sambil ngendiko “ kulo sak anak putu kulo, nyuwun di dungoaken nggeh”( saya dan anak cucu saya, mohon didoakan ya).
Kyai Marzuqi merupakan tipe kyai yang dakwah bil hal, sangat syar’i dan khumul. Beliau tidak pernah mau menampakkan kemampuan dan amaliyahnya. Sehingga sangat sulit untuk diungkapkan dan dijelaskan secara teoritis. Kyai Marzuqi juga jarang banyak bicara dan guyon. Masalah penampilan pun jarang beliau perhatikan. Bajunya seenaknya sendiri dan terkadang kancingnya juga tidak pas.
Selain itu, beliau juga tampak sangat lugu. Ketika ngaji beliau hanya membaca atau memaknai saja, jarang sekali beliau cerita – cerita dan itupun maknainya tidak bernada. Begitu juga saat beliau mengimami shalat, surat alfatihah dan surat - surat lainnya juga dibaca biasa saja mengalir apa adanya tanpa bernada lagu. Keluguan beliau juga tampak saat ada tentara yang datang ke kediaman beliau dengan pakain tentara yang lengkap dengan pangkatnya. Tiba – tiba Kyai Marzuqi menunjuk pangkat yang tertempel di baju tertara itu sambil berkata “ niku nopo niku...”. Malah yang terjadi tentara itu ketakutan.
Sepanjang yang diketahui Kyai Chalwani, ilmu tashawuf yang didalami oleh Kyai Marzuqi mengikuti kepada Al Ghozali. Karena Al Ghozali di bidang syar’i sangat keras walaupun akhirnya Al Ghozali berguru kepada muridnya yang kealimannya masih dibawahnya.
Kabar berita yang tersebar mengenai kehebatan Kyai Marzuqi, Kyai Chalwani mengungkapkan konon ketika ada santri lirboyo yang membunuh PKI, yang notabene anak PKI itu KKO. Lalu akhirnya Lirboyo diserbu beberapa truk sama KKO. Mereka bawa bedil dan KKOnya mau membunuh Kyai Marzuqi. Kemudian dituntunlah Kyai marzuki, begitu senapannya diarahkan ke Kyai Marzuki yang terjadi senapannya tidak berbunyi. Tetapi kalau ditembakkan ke arah lain, senapan itu berbunyi. Sampai – sampai Kyai Mahrus keluar dengan membawa pistol dan gus- gusnya pada sembunyi di dapur atas.
Untuk khotib jum’at di pondok Lirboyo, biasanya gantian antara Kyai Marzuqi dan Kyai Mahrus. Namun biasanya Kyai Mahrus yang sering mengisi.
Lain hanya dengan KH.Mahrus Ali, menurut Kyai Chalwani Kyai Mahrus termasuk imamah wathoniyah. Disamping sebagai tokoh pesantren, beliau orang yang nasionalis. Semua tokoh masyarakat sangat segan terhadap Kyai Mahrus, karena memang kharismanya yang sangat luar biasa. Kyai Mahrus namanya begitu menjelit ketika mobinya jatuh ke sungai Bengawan Solo di daerah Langitan - Tuban. Mobil tenggelam di sungai berkisar kurang lebih 6 jam-an lalu ketika diderek diangkat ke tepi jalan dan pintu mobil dibuka, Kyai Mahrus keluar dari mobil masih ngrokok seperti biasa. Didalam mobil itu, selain Kyai Mahrus juga ada Kyai Halimi Turmudzi dan H.Syukur yang sebagai sopirnya dan semuanya selamat. Setelah itu, Kyai Mahrus sangat terkenal, diliput di surat kabar dan majalah – majalah. Terkenal julukan” Kyai Water Power Anti Air”.
Kyai Chalwani pernah ngaji ke Kyai Mahrus kitab lathoif al isyarat. Dan yang membuat beliau heran terhadap Kyai Mahrus, saat Kyai Mahrus cerita tentang gurunya Kyai Dalhar Watu Congol, Kyai yang kalau ngaji tidak pernah dimaknai, hanya sekedar dibaca dan juga tanpa keterangan. Kyai Mahrus justru bilang “kalau ada kyai yang mengajarkan mantiq seperti Kyai Dalhar, saya mau ngaji lagi”. Jadi Kyai Mahrus merasa faham mantiqnya berasal dari ngaji ke Kyai Dalhar Watu Congol itu. Selain Kyai Dalhar, kyai yang terkenal ngaji tidak dimaknai dan diberi keterangan ada Kyai Kholil Bangkalan dan Kyai Abdul Karim. Tapi santrinya malah alim – alim. Makanya ketika Kyai Chalwani awal – awal menjadi kyai dirumah, tidak bisa menjawab soal yang di ajukan rombongan mahasiswa UII Jogjakarta yang datang ke rumah beliau menanyakan perihal Kyai Dalhar kalau ngaji memakai metode apa sehingga santrinya bisa alim – alim padahal kalau mengaji tidak memakai makna dan keterangan.
Kyai Mahrus selain figur yang kharismatik dan luar biasa, dalam masalah penampilan beliau juga selalu tampil elegan. Pakaian yang dikenakan juga tampak mewah. Ketika orang – orang jam tangannya cuma bermerk rado yang harganya 40 ribu-an, Kyai Mahrus jam tangannya sudah bermerk rolek yang harganya 3 juta-an.
Menurut pandangan Kyai Chalwani kalau Kyai Marzuqi dari sisi tashawuf cenderung ke Al Ghozali dan kalau Kyai Mahrus cenderung ke Syekh Asyadzili. Karena Syekh Asyadzili walaupun shufi tetapi beliau kalau mengimami shalat bajunya selalu ganti. Kalau mengimami shubuh sorbannya sendiri, sandalnya sendiri, dan pakainnya sendiri nanti kemudian waktu shalat dhuhur pakaiannya Syekh Asyadzili ganti lagi. Dan dari hizib – hizibnya Kyai Mahrus rata – rata juga memakai hizibnya Syekh Asyadzili.
Mengenai fatwa santri dilarang ngaji kitab ingkang dereng pangkatipun merupakan fatwa dari Kyai Marzuqi dan Kyai Mahrus. Kemudian larangan mengamalkan sholawat wahidiyah disepakati dan ditandatangani oleh tiga kyai yakni Kyai Mahrus Ali, Kyai Marzuqi Dahlan dan KH. Syafi’i Marzuqi yang merupakan rois syuriah NU cabang Kediri, hafidz qur’an, dekan Fakultas Syariah Tribakti dan mantan bupati Kediri serta salah satu pendiri Tribakti.
Waktu Kyai Chalwani mondok di Lirboyo, beliau di titipkan ke Kyai Mahrus. Sehingga Kyai Mahrus kalau ketemu Kyai Chalwani sering ngendika “ chalwani...lak ora iso ngganti ramamu, kali Brantas asat..”. Artinya sungai brantas yang begitu besar dan sangat bermanfaat bagi masyarakat kalau sampai tidak ada airnya maka kali Brantas juga tidak ada gunanya , berarti Kyai Chalwani tidak ada manfaatnya kalau tidak bisa menggantikan posisi orang tuanya. Dan Kyai Mahrus ngendika seperti itu berkali – kali. Walaupun dulunya mondoknya di Kyai Marzuqi tapi ketika berangkat dari rumah atau mau pulang ke rumah beliau pasti showan ke Kyai Mahrus. Waktu sudah di rumah beliau pernah lenggah membaca manaqib Syaikh Abdul Qodir Jaelani, kemudian Kyai Mahrus mendatangi dalam mimpi beliau dan mengingatkannya. Waktu Kyai Chalwani menikah Kyai Mahrus juga bisa menghadiri acara walimahnya.
Sepengetahuan Kyai Chalwani, Kyai Mahrus berpedoman “Assiyasah! wa man lam ya’rif assiyasah akalahu assiyasah”. Dan pesan Kyai Mahrus yang selalu terngiang sampai sekarang yang biasa beliau sampaikan setiap awal tahun lirboyo waktu acara ta’arruf di serambi masjid yaitu “Alaa inna likulli syai’in qimah # waqiimatul mar’i maa ya’lam bukan al ilmu tapi maa ya’lam, al ilmu inna maa hashluhu bitta’allum laa bil muthola’ah”. Jadi ilmu dihasilkan dengan merdi-merdi ngaji, berbeda dengan kata muthola’ah. Muthola’ah itu harus orang yang sudah benar-benar alim sekelas Kyai Mahrus. Kalau kita - kita ini harus mengaji dengan guru. Maka akan sangat fatal sekali apabila belajar ilmu hanya membaca dari buku tanpa guru. Alhasil al ilmu bitta’allum laa bil muthoola’ah.
Kemudian pesan Kyai Mahrus lagi “ laa budda min thoolibil ilmi min ayyakuuna lahu syaikhun fattah wa kutubun shhihah wa aqlun rojah”. Dan pesan Kyai Mahrus untuk para pemuda supaya semangat belajar yang biasa disarikan dari kitab ihya” wa maa utiya al aalima ilman illa ghossaat “ Seorang alim tidak akan dikaruniai ilmu kecuali selagi ia masih muda”. Maksudnya ilmu itu masuknya ketika masih muda, kalau sudah tua cuma pengembangan dan menerangkan saja tetapi ilmunya tidak bertambah.
Kyai Chalwani juga mendapat ijazah dari Kyai Mahrus ketika showan setelah beliau menjadi alumni yakni ijazah tawashul yang Kyai Mahrus peroleh dari gurunya yaitu Mbah Dalhar Watu Congol. Sebelumnya ditanya terlebih dahulu “ koe kabeh nek rampung tahlil ziarah maqom wali, maqom ulama, piye doa tawasule?ngene iki tawasule, ojo dicatet! “Yaa shoohiba haadzihil maqbaroh inni atawassalu bika ilaallahi ta’ala fii qodoo’i haajatii....” lalu sebutkan hajatmu. Kata Kyai Mahrus kalau kamu dimaqom wali sebutkan saja nama shohibul maqbarohnya, contohnya kalau kamu dimaqom Sunan Kalijogo sebutkan saja ” yaa shoohiba haadzihil maqbaroh Raden Syahid Sunan Kalijogo” .Maka ketika selesai ziarah dimanapun Kyai Chalwani tidak pernah lupa membaca itu.

Sabtu, 06 Februari 2010

GILA

GILA, benarkah aku sedang gila? atau jangan-jangan selama ini aku belum mengerti arti waras?ah…tapi saat ini saya merasa pusing dengan kedua sisi itu? apa orang gila juga bisa merasakann pusing sebagaimana yang kurasakan saat ini? kalau ia?wah…sungguh aku semakin berpotensi dimasukkan dalam kategori itu. Tapi apakah benar kawarasan yang dituju dalam hidup ini?atau kebahagiaan?apakah manusia lebih memilih waras meskipun jauh dari bahagia?, atau pilih gila yang penting bahagia?atau menolak keduanya? Akhirnya ada benarnya juga kata budayawan, Gusmus, “Aku harus bagaimana, atau kau ini bagaimana?”.
Entahlah, kalau toh benar saya sedang gila, biarlah saya menikmati kegilaanku ini, kalau barometer gila dan waras ada pada rasa malu, toh sekarang sudah hampir semua manusia melepas tirai malu itu.Life is fun, begitu kira-kira motto mayoritas orang-orang zaman sekarang. Kalau sudah tidak ada pembeda, kenapa harus berteriak ada perbedaan?bukankah jujur lebih mendatangkan ketenangan, walau kadang pahit dirasakan?
Dalam kebingunganku-atau kalau lebih jujurnya dalam kegilaanku saat ini-, saya sering dibuat senyum-senyum sendiri hanya karena membaca satu baris tulisan kecil , kiriman sms dari bocah belia itu , ikut sorak sorai dalam cloteh mungil anak-anak belia, sesekali aku ikut bermain dalam kebocahan mereka, entah karena masa kecilku kurang bahagia, atau saya telah jenuh dengan kemunafikkan orang-orang dewasa.Tulusnya, ke-apa ada-annya, cloteh lucunya, ledek manjanya, wah aku suka semua produk alam itu…..
Yang jelas damai ada kurasa, tenang mengalir dalam jiwa dalam kegilaanku ini.Kalau memang gila yang saat ini sedang dipilhkan olehNya untukku, saya kira tak ada alasan untuk aku menampiknya….
mybaby….thanks a lot for you, kau telah bangunkan aku dari tidur panjangku, kau telah gilakan aku dari warasku,kau telah ceriakan aku dari kusutku,kau telah suntikkan kekuatan pada kelemahanku……
wueleh….mbuh kang…ra mudeng…..sami cak….!!!!

Dalam blog ini