Selasa, 22 Juni 2010

ILUSI TERMINOLOGI HIDUP

“Alam semesta hanya memiliki makna dalam kaitannya dengan manusia. Padahal manusianya sendiri telah kehilangan makna”. Claude Levi-Strauss


Adu domba, sudah ada sejak dulu, sejak manusia pertama yang melahirkan generasi pertama anak manusia berikutnya, keluarga nabi Adam A.S. Generasi awal umat manusia itu Ia jadikan pelajaran bagi generasi manusia selanjutnya dalam rentang masa yang sangat panjang, tanpa pernah ada kepastian kapan dan seperti apa akhir dunia terjadi. Masa yang buta, semua manusia tidak pernah tahu rahasia langit tempat sang Pencipta memainkan skenario hidup kita dengan tanpa ada cerita yang terlewatkan bahkan sekedipan mata.

Hingga hari ini, zaman modern yang kita lalui, adu domba dan perang antar manusia semakin sulit dibedakan dengan kepentingan baik. Semua dapat disembunyikan dan akan banyak sekali pilihan untuk bertindak. Tidak harus frontal, tapi selalu saja membutakan. Maka, mengetahui sesuatu, tidak harus selalu berujung pada perlawanan. karena perlawanan berpotensi membutakan. dan karena buta, perlawanan menjadi reaksioner —yang hanya akan menghasilkan kesia-siaan..

Perang antar manusia dipastikan akan selalu terjadi, dan kita sedang khawatir hari ini, akan seperti apakah perang yang terjadi pada manusia modern nanti. Sangat menakutkan. Tapi kita jangan terperangkap. Seakan memandang hidup adalah perjalanan menunda kemenangan jasad (fisik) manusia adalah satu-satunya jalan pilihan dalam kehidupan.

Memandang dunia penuh dengan kepentingan yang harus berujung pada peperangan, penghabisan etnis lain, dan kemenangan golongan sendiri adalah satu dari banyak cara kita memandang hidup, bukan pandangan final setiap manusia yang hidup. Memang, perang yang tejadi jutaan kali sejak manusia diturunkan di bumi dapat kita jadikan penguat pendapat, bahwa manusia tidak akan bisa lepas dari jeratan permusuhan, dan hanya akan ada satu golongan yang berkuasa, mengkahiri dunia dengan kemenangannya. Tapi jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, bahwa peperangan, bukanlah milik semua manusia. Dalam setiap peperangan, selalu ada sebagian dari mereka yang menangis bukan berteriak lantang, lebih memilih untuk mengubur nafsunya bukan justru saling membunuh dengan penuh nafsu di arena pertarungan yang liar, dan selalu ada yang menentang bukan justru memperjuangkan pecahnya peperangan yang dapat memecah persaudaraan sebagai sesama umat manusia.

Perbedaan cara memandang hidup tersebut akhirnya melahirkan kelompok manusia sendiri-sendiri. Selanjurnya, setiap kelompok akan cenderung memperkuat dirinya sendiri di atas kelompok lain. Secara eksplisit pertarungan tersebut berujung pada kontestasi identitas dan eksistensi. Padahal dalam kondisi tersebut, satu kelompok belum tentu dirinya lebih baik, karena menentukan siapa yang terbaik bukanlah kehendak manusia. Pada akhirnya, setiap dari kita berbeda, dan inilah yang menjadikan dunia berbatas tembok, tanpa jembatan yang menghubungkan nilai-nilai universal.

Bertahan hidup
Memenangkan hidup
Mengalahkan hidup
Menikmati hidup
Memaknai hidup

Padahal, urusan apa bagi kita berpikir bahwa kehidupan dunia harus dimenangkan oleh siapa dan darimana diri kita? Kehidupan di dunia akan menjadi mulia jika setiap dari kita melihat setiap kemenangan hidup sebagai sebuah bentuk yang substantif, tidak harus otentik. Sebaliknya, ternyata selama ini kita kalah bukan karena jumlah kita yang sedikit, tapi kita kalah karena banyak melanggar ajaran-Nya yang suci.
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu” (QS. Ar-Rahman : 7-9)


Kedigdayaan langit itulah membuatku berguru pada alam pikiranku yang selalu bergemuruh.

Kita semua manusia diciptakan dengan jasad serupa, tapi berbeda ruh. Bahwa banyak manusia melupakan ruh yang tak terlihat, dan terjebak hanya pada jasad (fisik) manusia yang membutakan. Ruh tercipta ghaib bertujuan agar hilang jarak. Jarak yang hilang akan membuat kita tidak dapat memperkirakan dan memikirkan hal-hal diluar kendali kemanusiaan. Karena jarak berpotensi membutakan. Jauh menjadi sok tahu, dekat menjadi tidak mau tahu. Bayangkan dalam tangan kita menggenggam kaca mata, atau juga kaca pembesar (lup). Kita tidak akan mampu mempergunakan alat bantu itu untuk melihat jika mata kita terlalu dekat ataupun terlalu jauh dari lensa. Menjadi sia-sia, sama saja alat tak ada gunanya. Maka artinya, memahami sesuatu jangan terlalu dekat dan terlalu jauh, karena kita semua sebenarnya memiliki alat bantu untuk melihat. Agar kita bijak dan tidak terjebak.

Melalui berbagai ruang atau medium pembelajaran kehidupan, kita harus membangun kesempatan lahirnya generasi moderat, tapi tetap militan menjalankan prinsip kebenaran. Mereka yang mampu mengidentifikasi titik tengah. Generasi yang kehadirannya sangat dibutuhkan, untuk merangkai simpul perbedaan dan konflik kepentingan, menjadi jembatan antar kemanusiaan untuk membangun dunia yang sejahtera, adil dan bermartabat. Mereka menjadi penghubung bagi nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya berlaku. Mereka menciptakan standar baru, bahwa dua titik ekstrim tidak akan pernah menghadirkan energi kebaikan yang sama.

Sebaliknya, ada ruang tengah yang berselimut kuat pada nilai-nilai kebaikan universal, bertujuan untuk membangun keberadaban. Karena manusia hidup di dunia sebagai makhluk langit, yang diturunkan ke bumi untuk memikul amanah bersama, bukan untuk seorang dirinya, sebatas kelompoknya, atau sekedar satu bangsanya. Titik tengah bukan berarti netral dan buta arah, tapi kita berusaha tidak terjebak pada titik ekstrim yang membutakan. Karena fitrah manusia cenderung merapat pada kutub kenyamanan dan keangkuhan.

Tentu saja ini tidak bertentangan dengan apa yang secara tersurat disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an surat Al-Waqi’ah.
Pada hari kiamat manusia akan terbagi tiga golongan Ayat 1-7

Apabila terjadi hari kiamat, 2 terjadinya kiamat itu tidak dapat didustakan (disangkal). 3 (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), 4 apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, 5 dan gunung-gunung dihancur luluhkan sehancur-hancurnya, 6 maka jadilah dia debu yang beterbangan, 7 dan kamu menjadi tiga golongan.

Golongan kanan, kiri dan mereka yang paling dulu mukmin Ayat 8-10

8 Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. 9 Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. 10 Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga).

“Dan golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu.'' (QS Al-Waqi'ah [56]: 27).


Moderat bukan berarti netral. Moderat bukan berarti tidak memiliki keberpihakan. Mereka akan tetap militan menjalani prinsip kebenaran hidupnya. Kehidupan yang sudah menembus batas-batas otentik dan sudah mencapai gambaran akhirat sebagai kehidupan abadi setiap manusia nantinya. Jika manusia menjalani hidup dengan keyakinan yang dibesarkan dari jasad kemanusiaannya, maka kita sepantasnya hanyalah seorang aktor permainan drama. Padahal hidup bukan lakon yang berakhir satu cerita, tapi masih berlanjut, dalam kehidupan abadi selanjutnya.

Oleh karena itu, dibutuhkan generasi yang kuat dalam keyakinannya, tapi tidak buta pada kenyataan kompleksitas alam manusia. Kita berbeda, tapi bertujuan dan menanggung amanah yang sama. Hidup bagi sang Pencipta, dan menebar kebaikan pada alam semesta.
“Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman- pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.”
(filsuf Perancis-Teilhard de Chardin)


Maka, ini menjadi sangat tepat bagi kita semua kaum muslimin seisi bumi. Tidak berselang lama, baru saja kita disuguhkan perang tidak berjasad, gambar nabi besar kita dijadikan permainan dan pelecehan oleh publik. Sontak banyak dari kita yang berteriak, mengecam, dan mengancam peperangan. Dalam bentuk yang lebih sederhana, banyak dari kita yang memilih turun ke jalan, melakukan pemboikotan, dan berlomba-lomba menjadi garda terdepan perlawanan. Padahal, mereka melakukan kerja bengis itu karena bertujuan mengalihkan cara berpikir kita. Bahwa perlawanan frontal hanya akan membuat kita tidak lagi cerdas, lupa dengan kesalahan-kesalahan fundamen kita selama ini, dan habislah energi kita untuk menyusun langkah bangkitnya kembali peradaban sendiri.

Kejadian lain, rentetan teror bom yang terjadi di negara kita, sebagai dalih perlawanan terhadap satanis Amerika. Saya yang bukan para setan saja bisa mendengar tawa mereka. Bahwa perang pemikiran yang selalu mereka lancarkan, ternyata hanya sanggup berbalas perlawanan mortir dan jalanan. Sementara mereka terus melenggang dengan kedigdayaan dan kemajuan zamannya, kita hanya sanggup bereaksi sempit, memalukan, dan tidak mennyentuh akar persoalan.

Dalam bahasa yang lebih dalam dan bahasan yang lebih luas, jika Islam ingin menjadi agama pemenang, Islam harus mendudukkan dirinya sesuai dengan paham Universalisme Substantif. Karena bahkan, hingga hari ini masih ada manusia di salah satu belahan bumi Amerika Selatan yang buang air besar dengan cara berdiri. Begitupun saat Rasul pertama kali datang, ia hanya berinteraksi dengan jahiliyah Arab. Padahal di masa itu, saat dunia belum mengenal ilmu pengetahuan yang rasional dan empirik, di setiap belahan bumi pasti ada potret ketertingalan, kegelapan, keterbelakangan, dan perilaku kebinatangan manusia. Maka, untuk menghimpun cahaya kemajuan peradaban manusia, agama yang dibawa harus dapat mendudukkan diri tidak lebih tinggi dengan kebudayaan yang telah lebih dahulu bermukim pada worldview setiap manusia di belahan bumi di manapun mereka berada.

Islam hanya akan menjadi agama penolong manusia jika terjadi empirisme dalam ajaran Islam itu sendiri, bukan berarti mengganti konteks yang terdapat dalam ajaran Qur'an dan Hadist dengan keterbatasan pikiran kita, tetapi memperbaharuinya melalui empirisme zaman yang berkembang bersama hidup kita. Karena jika agama masih selalu terpaku pada kekakuan analogi masa lalu, maka kita pantas berkata, "Agama, riwayatmu kini akan segera berlalu".

Ku meyakini Islam yang mengajarkan bahwa hidup adalah ornamen kebahagiaan, bukan jalan permusuhan. Karena pikiran manusia akan terus terpenjara ,menjadi pemikiran yang mati jika tak pernah melihat dunia. Dunia diciptakan bukan untuk berbatas tembok, tapi untuk dilewati dengan dibangunnya jembatan antar kemanusiaan. Namun, bukan berarti kita bersedia untuk berada di bawah ketiak mereka. Selama substansi yang mereka katakan adalah kebenaran, maka kita harus menerimanya, tapi bukan untuk meyakininya. Kita tidak membenci orangnya, tapi kita membenci dan akan melawan pemikirannya.

Artinya apa?
Bahwa menganut paham "universalisme substantif" ini adalah mereka yang percaya bahwa mendamaikan kepentingan adalah cara menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan lebih baik. Pemikiran ini berawal dari gagasan Karl Polanyi. Sementara bila dikontekstualisasikan pada persoalan ini, artinya adalah selama yang dipersoalkan bukanlah high-context (sesuatu yang tertulis eksplisit dalam ajaran Qur'an dan Sunnah), maka kebenaran akan relatif dalam kacamata manusia. atau dalam bahasa lain adalah heterodoxial-context relativism. Sesuatu yang tidak bersifat heterodoks (berasal dari sang Pencipta), maka akan terus terjadi perdebatan dan perbedaan kepentingan dari manusia sebagai hamba yang memiliki keterbatasan dan kelemahan.

Maka, Islam harus mendudukkan dirinya dalam differential ornament dengan cara understanding ego dan keterikatan subjektivitas (subjectivity-integration). Selama substantsi dari beragam hal yang terjadi dan menjadi perdebatan di dunia ini baik dan sesuai dengan ajaran low-context Islam, tidak masalah menggunakannya untuk kepentingan Islam itu sendiri. Ini memang berat untuk Islam. Kita dilahirkan, diajarkan, dan dibesarkan dengan janji kemenangan. Tapi, perlu kita renungkan sekarang, apa jalan menunda kemenangan jasad manusia adalah jalan terbaik untuk memaknai kehidupan?

Pergolakan pemikiran Universalisme Substantif ini menjalar dalam pikiran ku karena gerah dan lelah dengan dunia yang selalu berbangun tembok, bukan jembatan antar kemanusiaan.
Padahal semua dari kita adalah makhluk langit, yang bersumber dari yang Tinggi untuk menjadi rahmat bagi tempat yang tidak lebih Tinggi. dan suatu saat, mungkin lusa, kita akan kembali lagi ke Yang Maha Tinggi..

Karena kemudian pula, dunia hanya akan berujung pada dua hal, dua sisi, dan dua kepercayaan. kau percaya pada Tuhan, atau kau sebangsa Pagan. Kau mempercayai yang hidup, atau kau mempercayai yang mati. Kau mempercayai Ia yang menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup, atau kau mempercayai Ia yang mati tapi seakan hidup. Manusia penyembah Tuhan, selamanya, akan berhadapan dengan manusia penyembah Pagan. Sejak dulu, sejak peradaban pasir, sejak peradaban batu, sejak peradaban mortir, dan kini peradaban digital, kita akan saling berhadapan.

Sama halnya dengan dua sisi tertinggi dalam pilihan kehidupan manusia. Pilihan kebaikan dan keburukan, kegemberiaan dan kesedihan, kekayaan dan kemiskinan, kemenangan dan kekalahan, kemerdekaan dan keterjajahan, kejujuran dan kebohongan, keimanan dan kemunafikan, peperangan dan perdamaian, kemudahan dan kesulitan, bergerak dan diam, hingga bertuhan dan pagan, keduanya akan selalu berhadapan. Semua kembali pada dua sisi sama tinggi. Manusia memikirkannya, mengatasnamakannya, dan menjalankan kehidupannya menuju pilihan yang akan menjadi akhir hidupnya. Oleh karena itu, manusia sesungguhnya tidak pernah mencintai kehidupannya. Karena kita tidak pernah memilih kehidupan, yang kita pilih adalah pilihan untuk apa kita mengisi kehidupan. Mengisi hidup itulah yang menjadi perkara milik Ruh. meskipun Ruh tidak berbentuk, tapi ia hidup.

Maka, agaknya untuk membincangkan kehidupan, kita harus menambah terminologi baru. Jika hidup selama ini kita maknai sebagai perjalanan otentik manusia, dan bumi adalah kita pahami sebagai tempat bermukimnya jasad manusia, maka sama saja kita terjebak pada ilusi terminologi hidup. Hidup sejatinya bukanlah milik jasad. Hidup yang hakikat, adalah Ruh yang tak terlihat.





Sekarang memang terlihatnya semua pertarungan berasal dari hasil pikiran manusia. Hasil pikiran manusia itulah yang kemudian kita kenal dengan istilah teknologi. Semua berawal dari ilmu pengetahuan yang telah menembus ketidakmungkinan dan melahirkan optimisme bagi masa depan. Berbeda dengan rahim pikiran manusia yang tadi kita sebut sebagai Ruh. Padahal sebenarnya, Ruh lah yang menggerakkan hidup, sementara jasad hanyalah sebagai alat gerak hidup.

Tapi, seberapa dahsyat dan gigantiknya hasil pikiran manusia, teknologi tidak akan mencapai ruh, hanya pada kecepatan informasi, memindahkan momentum, dan menyentuh partikel jasad kita, bukan ruh seorang manusia. Dan, teknologi terakhir yang akan ditemukan manusia nanti tetap tidak akan sanggup merekayasa Ruh, karena teknologi diciptakan melalui akal dan kehendak makhluk yang juga diciptakan. Di sanalah manusia baru akan menyadari kehilangannya. Manusia akan memperebutkannya.

Benarlah gambaran masa depan itu. Sampai pada akhirnya, manusia menyadari habisnya jiwa kemanusiaan dari bumi manusia. Disanalah, manusia akan mencari kembali hakikatnya, sedalam-dalamnya, untuk kembali menjadi manusia, yang sangat sederhana sebenarnya, yang tak bisa memaksa dan terus merekayasa. Sampai pada suatu masa, dimana hasil ciptaan manusia mencoba menyentuh Ruh, maka saat itulah teknologi berhenti, masa depan terhenti, dan dunia dihentikan. Manusia akan diperdengarkan kembali, dengan siapa ia seharusnya berjalan, dengan siapa Ia berTuhan. Karena manusia adalah makhluk Langit, maka Ia hakikatnya akan terus menatap Langit, untuk kembali ke Langit.

Pada akhirnya, manusia akan kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan masalah paling mudah (berhitung, berpikir, dan kelima indera lainnya), manusia kehilangan sensitivitas, manusia kehilangan ketundukan. Ruh dan alam semesta bersatu, teknologi terpinggirkan. Teknologi akan tertolak oleh alam sebagai entitas yang murni, mendasar, dan yang menjadi pengawal segala kehidupan.
“Ketika teknologi tiba, lebih hebat dari senjata terberat, dari gagasan terdahsyat, masyarakat melulu tinggal sebagai alat. Lewat retorika berbasis informasi gigantik” (Radhar Panca Dahana)

Sehingga, jika umat Islam marah besar dan melakukan perlawanan jasad terhadap para iblis berwujud manusia (kata sebagian dari mereka) yang kini dalam zaman modern menggunakan teknologi untuk melemahkan Ruh kita, maka hingga akhir kehidupan, Islam tidak akan tegak dan membawa rahmat bagi seisi alam semesta. Islam ada, untuk kebaikan seisi semesta, bukan satu bangsa, satu golongan, dan satu agama penganutnya. Keimanan dalam Islam bertujuan untuk menghindari penghambaan setiap manusia. Islam membincangkan Ruh, bukan jasad manusia. Islam membicarakan lebih dahulu bahwa manusia diharuskan menjaga kondisi ruhnya, agar tidak sakit dan mati. Karena kematian ruh adalah kematian hidup. Banyak kini dari kita sendiri kaum Muslim bisa menangis terhadap orang yang mati jasadnya. Tapi, kita tak pernah menangis terhadap kematian sendiri hatinya.

Maka, melawan mereka yang tidak menginginkan Islam berdiri, tidak dengan perlawanan kemanusiaan, tapi keruhanian. Tinggikan pilihan kita dengan keyakinan, perkataan, dan perbuatan – dari hati, lisan, dan amal. Bukan dengan peperangan antar manusia, bukan dengan menghabisi sesama manusia, karena bukan untuk itu Islam diturunkan. Berbeda jika mereka yang memulai, maka harus dibalas sama, seperti tanah Palestina misalnya.

Namun, jika mereka melawannya dengan akal, hati, nurani dan beragam bentuk lain yang berpotensi membutakan Ruh manusia, maka lawanlah dengan cara yang sama. Mereka mengubah kita dengan pemikiran, maka lawanlah dengan kekuatan pikiran. Jadilah petarung yang cerdas dan bermartabat. Berpikir melawan mereka dengan menghabisi jasad, tidak akan pernah sampai pada kemenangan kita sendiri. Tradisi, kepercayaan, dan cara pandang akan terus mengalir antar generasi. Musuh kita boleh mati dalam jasadnya, tapi tidak untuk ruh yang menggerakkan kehidupannya. Ruh yang menggerakkan akal hati dan nurani, sementara jasad hanyalah alat yang bisa sakit dan mati.

Sedikit berbagi, dengan apa yang dimuaksud dengan soft-power politic..
Paradigma langka yang kini sangat dibutuhkan manusia seisi bumi. Ada sebuah negeri dimana kita pernah berjaya. Menerangi dunia yang kotor dan busuk. Ada sebuah negeri dimana kita pernah dirampas. Hingga kerusakan genetik masih membekas. Ada sebuah negeri, kita menyebutnya Palestina, Checnya, Irak, Libya, dan Afganistan. Kita juga tidak lupa tentang Spanyol. Hingga rasa sakit tidak kuasa menahan sakitnya, hingga lelah kami berteriak hilang kelelahannya, hingga darah kami hilang kemerahannya, menjadi hitam pekat karena habis dimakan nafsu binatangmu.

Lalu, jika kemarahan kami kalian anggap perlawanan, lalu apa yang disebut kemanusiaan itu? Tapi kami membawa jalan baru untukmu kaum bengis. Kami tidak akan membalas kekejianmu dengan darah dan nanah anak-anakmu. Kami ingin membuatmu terhentak dengan keyakinan dan jiwa kemanusiaan yang kami punya. Karena kebencian tak dapat melakukannya. Kecintaan yang mengingatkan kita pada harapan baru. Maka saksikanlah sebuah zaman yang lebih baik dibandingkan ketika engkau melihat diriku, karena aku akan berjuang untuk memperbaiki diri demi generasi setelahku.

Kami bangkit karena kami meyakini lebih dari kebenaran, kami memiliki keyakinan. Kami runtuh karena kami mengingkari lebih dari keyakinan, yaitu keimanan. Kami berjaya dulu, dan akan kembali berjaya nanti, karena kami mensimbiosiskan keimanan dengan ilmu pengetahuan yang kami miliki. Maka, kalau saja mereka hanya seorang dua orang saja, maka akulah dia, dan kau seorang lainnya..
“Sitou tumou tumou tou” (kita hidup untuk memanusiakan manusia lain)


Lalu, apa hubungannya keyakinan dengan jiwa kemanusiaan kita tersebut? Sangatlah erat, begitu dekat. Jiwa kemanusiaan itu akan tercipta secara simultan. Karena keimanan bertujuan menghilangkan penghambaan sesama manusia. Maka keimanan pasti akan membentuk jiwa kemanusiaan kita. Untuk menghargai dan menempatkan diri tidak lebih tinggi dari manusia lainnya. Karena di mata Tuhan, semua sama. Hanya keimanan yang menjadi pembeda. Tapi, keimanan tanpa ilmu pengetahuan menjadi buta. Sebaliknya, ilmu pengetahuan tanpa keimanan berarti gila.

Kini, kiamat banyak yang mengatakan sudah dekat, jika benar demikian, maka jadilah generasi terakhir penghuni bumi, yang tidak mengulang siklus kesalahan manusia yang selalu berulang. Jadilah generasi berbeda, yang menjadikan hidup bukan sebagai perjalanan kemanusiaan, tapi perjalanan keruhanian. Karena akhirat menunggu, dan kita akan dikumpulkan kembali di sana, sebagai ruh, bukan jasad seperti tampak di cermin-cermin yang ada dunia.

Lalu sekarang, apa yang sedang mereka kerjakan? Rencana besar apa lagi yang akan mereka persiapkan?

Setelah Transformers, Da Vinci Code, Sherlock Holmes, Prince of Persia, aku pastikan dalam beberapa bulan ke depan, akan kembali muncul film-film gigantik yang membuat kita tercengang. Pesan rahasia akan kembali membutakan, dan hanya sanggup berbalas dengan decak kagum miliyaran pasang mata seisi dunia. Manusia, akan terus berperang, melalui ruh, bukan jasad yang akan membusuk begitu hidup di dunia mencapai batas waktunya..

Sementara, masih terlalu banyak misteri di dunia ini, dan perlahan berubah menjadi ilusi. Seorang teman, Maula Nurudin Al-Haq mengatakan, entah seberapa tahan jasad sebagai wadah diri ini untuk menampung semuanya, karena untuk menjadi seorang pahlawan di zaman kekinian wadah itu haruslah amat besar. Lebih besar dari penyimpan data hasil pikiran manusia sekalipun. Karena penyimpan data itu hanya sanggup menyimpannya, sementara dengan kekuatan Ruh yang manusia punya, kita akan sanggup berfikir, mengolah, menganalisa, dan mengambil tindakan dengan sebaik-baiknya.


Kontestasi semacam itulah yang pada akhirnya menjadi pertarungan identitas dan eksistensi untuk memenangkan keuntungan substansial dalam unjuk kehendak yang berprinsip. Maka, mendamaikan kepentingan, walau sulit dilakukan, akan jauh lebih baik daripada menentukan siapa yang benar dan siapa yang lebih kuat. Mendamaikan kepentingan hanya akan berhasil dilakukan dengan kekuatan Ruh dalam hati, nurani, dan akal, bukan dalam perlawanan jasad yang membutakan.

Pertarungan Ruh, harus dibalas dengan kekuatan Ruh, yang tidak harus membunuh, tapi akan membuatnya tunduk dan bersujud. Agar tunduk di saat yang lain angkuh. Agar teguh di saat yang lain runtuh. Agar tegar di saat yang lain terlempar..

Dinukil dari tulisannya: Azmi Basyarahil Jogjakarta

Dalam blog ini