Rabu, 21 Oktober 2009

Ke-ELOK-kan Islam

El-Fatih Imaduddin 11 Oktober jam

"Wa maa arsalnaaka illa rohmatan lil 'alamin",
tidaklah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai (kasih sayang Aku) kepada seluruh alam.

Dalam ayat tersebut, terungkap, motif pengutusan Rasulullah saw ke dunia ini sebagai manifestasi kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah mengutus Muhammad ke dunia ini karena Dia amat sayang kepada makhluk-Nya. Rasulullah saw datang ke dunia ini membawa tuntunan Ilahi, supaya menjadi pedoman manusia dan jin untuk mencapai ridho-Nya di dunia dan akhirat, sesuai dengan tujuan penciptaan mereka. "Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah (menyembah) kepada-Ku", demikian firman Allah.

Artinya, segala macam tuntunan Allah, baik berhubungan dengan keyakinan kepada Allah (akidah), tekhnis penyembahan kepada Allah dan tekhnis berhubungan dengan sesama (syari'at), maupun tekhnis pengelolaan batin agar senantiasa tertuju kepada Allah (ihsan) , yang disampaikan Nabi Muhammad merupakan wujud kasih sayang Allah pada mereka. Hukum-hukum syari'at diturunkan, manfaatnya bukan untuk Allah, tetapi untuk manusia sendiri. Pasalnya Allah tidak butuh hamba-hamba-Nya, tetapi hamba-hambalah yang butuh kepada-Nya.

Allah memerintahkan hamba melakukan sesuatu atau melarang sesuatu adalah karena Dia sayang kepada hamba-Nya. Persis (ini hanya pelogikaan, karena Allah tidak sama dengan makhluk-Nya) seperti perintah dan larangan orangtua kepada anaknya. Perintah dan larangan Allah, bila kita pahami sebagai perintah atau larangan, bukan kita pahami sebagai ekspresi kasih sayang Allah kepada kita, maka kita tidak ada bedanya dengan anak kecil yang memahami perintah dan larangan orangtua sebagai bentuk pengekangan dan pemenjaraan kebebasan dirinya. hal ini berarti cara berpikir kita masih kanak-anak, masih bodoh.

Allah tidak pernah memerintah kita atau melarang kita, karena Dia telah berfirman "kebenaran datangnya dari Tuhanmu, apabila mau silahkan kufur dan apabila mau silahkan iman". Allah tidak memerintah dan melarang kita, tetapi Allah sayang kepada kita sebagai hamba-hamba-Nya. Wujud kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah Dia tidak ingin hamba-hamba-Nya hancur/rusak/sesat, karena itulah Dia mengutus kekasih-Nya, Muhammad saw, kepada seluruh alam untuk menunjukkan mereka ke jalan yang benar. sebab jika diperhatikan dan diteliti secara mendalam dengan menggunakan pikiran jernih tanpa ada unsur hawa nafsu, setiap larangan pasti mengandung dampak negatif bagi manusia. Seperti larangan membuka aurat bagi wanita, misalnya, yakni agar mereka terhindar dari pandangan-pandangan liar dan pelecehan seksual yang ujung-ujung menggiring pada perzinahan dan perkosaan.

Dengan kita memahami perintah dan larangan Allah sebagai wujud kasih sayang-Nya kepada kita, maka kita dapat melaksanakan perintah atau menjauhi larangan Allah dengan perasaan cinta (mahabbah). Dari sinilah akan tibul keikhlasan dalam menyembah Allah. Logikanya, Allah menyayangi dan mencintai kita maka harus kita balas dengan cinta dan sayang pula. Rabi'ah al-'Adawiyah dalam salah satu munajatnya berkata "Ya Robb, bila aku beribadah kepada-Mu mengharapkan surga-Mu, lemparkan aku jauh-jauh dari surgamu. Dan jika aku beribadah kepada-Mu karena takut siksa-Mu, masukkan aku dalam-dalam ke neraka-Mu. Aku tidak mengharapkan apapun dari-Mu selain cinta-Mu". Inilah esensi cinta...

Kamis, 15 Oktober 2009

Rapuhnya NU Berbasis Langgar Doyong

Indonesia dan Keberagaman Budaya?

Sejarah telah merekam bahwa tumbuh kembangnya Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Indonesia sebuah Negara kepulauan, dan terbentuk atas ribuan atau bahkan jutaan desa-desa kecil, sangat pantas juga ketika disebutkan dengan kalimat Indonesia is a big Village.Tak bisa terbantahkan bahwa inilah Indonesia yang didalamnya terbangun atas kaum mayoritas - gabungan masyarakat pedesaan-, dan kaum minoritas – sekelompok kecil masyarakat perkotaan-.
Keberagaman adat, watak yang khas, dan ritus-ritus lokal, sebuah fenomena yang tak bisa dihindari lagi. Sehingga Islam sendiri walaupun induknya sama mengkrucut pada Qur’an dan hadits, namun keislaman di Indonesia sarat dan kental sekali dengan nuansa percampuran budaya lokal. Kenyataan seperti ini sangat dimengerti oleh mereka para pembawa Islam yang konon menurut sejarah dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, Persia, Yaman dan lain-lain. Wali songo istilah bagi penyebar Islam ditanah jawa yang berjumlah sembilan (songo) menerapkan sistem dakwahnya dengan melebur dan berasimilasi dengan adat-adat lokal, tentunya dengan integritas keilmuan, dan keislaman mereka yang tinggi, wali songo tahu dan faham betul mana yang bisa ditolerir untuk dileburkan antara akidah dan budaya, dan mana yang sifatnya prinsip ideologis yang sama sekali tidak boleh ditawar untuk dileburkan dengan unsur budaya. Sulit terbantahkan bahwa wali songo memang telah punya andil besar dalam usaha penyebaran & penegakan Islam dipulau jawa pada saat itu. Selanjutnya pada era mrid-murid mereka Islam gaya wali songo terus mengepakkan sayapnya dihampir seluruh belahan nusantara. Dengan kalimat yang tidak berlebihan layaklah wali songo juga disebut penyebar Islam dinusantara ini -tidak hanya di pulau jawa-.

Indonesia dan Pesantren
Dengan kuantitas yang mendominasi, angka 90 -koma sekian persen- telah menghantarkan klaim bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan 200 juta jiwa lebih penduduk Indonesia beridentitaskan Islam. Sebuah jumlah angka yang sebenarnya tidak dihasilkan dari abrah kedabrah atau bim salabim layaknya pesulap diatas panggung. Prestasi ini diraih melalui proses panjang, perjuangan, ketidak pamrihan, dan jerih payah para ulama militan dalam rentang waktu yang relatif lama dan berliku.

Proses belajar mengajar – atau kalau pengin dibilang mentereng- proses transfer nalar intelektual dan sepiritual sebenarnya sudah berlangsung lama jauh hari sebelum belanda mendarat mendzolimi bangsa ini. Dari suarau-surau kecil dipedesaan proses belajar mengajar(baca: pengajian) terus berlangsung. Pelan, perlahan, namun gerakan ini konkrit dan membuahkan hasil yang nyata. Islam terus berkembang dan mengakar sampai pada tataran grass root (lapisan bawah). Semangat, kepedulian bahkan fanatisme masyarakat nusantara terhadap Islam semaikn meningkat. Dari sinilah lompatan demi lompatan terus terjadi, sehingga suarau-suarau kecil atau bisa disebut langgar-langgar doyong berkembang melahirkan bilik-bilik (kamar-kamar). Dari sinilah cikal bakal pesantren terlahir. Dari sistem yang sanagt tradisional, klasikal hingga terus berkembang dengan berbagai multiragam macam pesantren. Keluaran dari pesantren-pesantren inilah yang kedepan meneruskan estafet perjuangan para ulama terdahulu di Indonesia. Pesantren telah dan masih menjadi agen peubahan peradaban dari Jahiliyah Indonesiais menuju peradaban Islam. Pesantren telah menyumbangkan fakta sejarah mencetak kader-kader muslim jauh hari bahkan jauh tahun sebelum peguruan tinggi maupun universitas menjamur bertebaran di nusantara ini.

Pada tahun 1926M dengan dilokomotofi Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari komunitas kaum pesantrten membidani lahirnya sebuah wadah jam’iyyah diniyyah yang kemudian diberi nama Nahdlotul Ulama(NU). Kaum santri bisa bergabung dengan NU ini untuk bisa lebih tertata dan terorganisir berbagai macam kegiatannya. Dari sinilah titik awal korelasi erat antara pesantren dan NU, antra para kyai, santri dan NU. Dalam tinjauan lebih luas dari sinilah hubungan erat antara pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tradisional yang membumi di Indonesia dengan Indonesia sebagai Negara.

Bobolnya Gawang Pertahanan
Globalisasi dan modernisme yang menggiring pada pola hedonisme dan pragmatisme disadari atau tidak berpengaruh pula pada pergeseran pola piker generasi NU. Jargon andalan Al muhafadhotu ‘ala qodiimi as shoolih wal akhdzu bil jadiid al aslhah sering bias dalam tataran perakteknya. Para kader muda NU sering kurang percaya diri dengan apa yang ada dalam khazanah NU. Lompat sana-lompat sini, dan glombang melompat ini terus mengalir pada pos-pos asing yang mungkin dianggap menawarkan iming-iming yang lebih menjanjikan. Dari sini babak kroposnya pertahanan berbasis langgar doyong semakin akut...padahal disanalah tulang punggung NU berada...
Robbii...Anzilnii..Munzalan Mubaarokaa..wa Anta Khoirul Munziliin..


*. Penulis adalah Lulusan Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadi’ien Lirboyo Kediri2008, dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin&Filsafat Jurusan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Minggu, 11 Oktober 2009

Pengertian Manhaj Salaf dan Ittiba’

Golongan Wahabi, yang belakangan mengganti nama menjadi Salafiyah (golongan pengikut Salaf), telah membajak kata salaf. Makna Salaf di tangan mereka dicederai, dikerangkeng pada permasalagan furu’iyyah dan perdebatan-perdebatan lama ulama klasik. Baik di bidang fiqh, ilmu kalam, maupun tasawuf. Dalam bidang fiqh, mereka lebih konsen membid’ah-bid’ahkan tradisi maulid nabi, ziarah dan sejenisnya; mensyirik-syirikkan tawassul, istighotsah, dan puji-pujian kepada rasul dan sejenisnya. Dalam ilmu kalam, alih-alih menanamkan hakikat makna tauhid, mereka justru mendebatkan kembali tentang, misalnya, asma wa shifat dan bahayanya menakwil ayat-ayat mutasyabihat dengan talwil yang sesuai dengan keagungan Allah dan lain-lain. Mereka akan menyesatkan siapapun yang tidak sejalan dengan alur pemikiran mereka.

Dr. Said Romadhon Al-Buthi mengatakan, menisbatkan diri kepada salaf melalui pemakaian istilah ”Salafiyah”, untuk menyatakan diri sebagai golongan yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan dan berdiri sendiri di luar jama’ah umat Islam adalah bentuk pemisahan diri dari jama’ah. Memisahkan diri dari jama’ah adalah bid’ah karena merupakan bentuk fanatisme.

Salaf berasal daru kata salafa yang berarti dahulu. Secara etimologis, kata salaf sepadan dengan kata qoblu yang artinya segala sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah kholaf. Kata salaf kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam. Yakni tiga generasi pertama Islam: sahabat, tabi’in dan tabi’-tabi’in. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw.:

”Sebaik-baik ummatku adalah pada kurunku, kemudian kurun setelahnya, kemudian kurun setelahnya” (HR. Bukhori-Muslim)

Perintah mengikuti salaf disebutkan dalam Al-Quran dan beberapa hadis shohih, yaitu:

a. Perintah mengikuti sahabat:
” Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasaniya itu. Dan Kami masukkan dia ke dalam neraka jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 115)

Ayat ini menjadi dasar penting tentang kewajiban kita dalam memahami Alquran dan Sunnah harus sesuai dengan metodologi dan pemahaman orang-orang mukmin. Ayat ini menjadi landasan atas kesekapakatan (ijma’) ulama (kecuali menurut pendapat sebagian ahli bi’ah) bahwasanya ijma sahabat bisa dijadikan hujjah.

”Rasulullah saw. bersabda: ’Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan,. Umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Sedang umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat dari 73 itu golongan itu hanya 1, sementara lainnya celaka. Ditanyakan kepada Beliau: ’siapakah golongan yang selamat itu?’ Rasulullah saw menjawab: Orang-orang yang mengikuti aku dan sahabat-sahabatku” (HR. Turmudzi)

”berpegang-teguhlah kamu semua kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrosyidin yang mendapatkan petunjuk” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)

b. Perintah mengikuti tabi’in dan tabi’-tabi’in
”Sebaik-baik ummatku adalah pada kurunku, kemudian kurun setelahnya, kemudian kurun setelahnya” (HR. Bukhori-Muslim)


Di Tulis oleh El Fatih Imaduddin, dipostingkan Muslih Fathoni Hp.085743612845

Kamis, 08 Oktober 2009

Rapuhnya NU Berbasis Langgar Doyong


RAPUHNYA NU BERBASIS LANGGAR DOYONG


Indonesia dan Keberagaman Budaya?

Sejarah telah merekam bahwa tumbuh kembangnya Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Indonesia sebuah Negara kepulauan, dan terbentuk atas ribuan atau bahkan jutaan desa-desa kecil, sangat pantas juga ketika disebutkan dengan kalimat Indonesia is a big Village.Tak bisa terbantahkan bahwa inilah Indonesia yang didalamnya terbangun atas kaum mayoritas - gabungan masyarakat pedesaan-, dan kaum minoritas – sekelompok kecil masyarakat perkotaan-.
Keberagaman adat, watak yang khas, dan ritus-ritus lokal, sebuah fenomena yang tak bisa dihindari lagi. Sehingga Islam sendiri walaupun induknya sama mengkrucut pada Qur’an dan hadits, namun keislaman di Indonesia sarat dan kental sekali dengan nuansa percampuran budaya lokal. Kenyataan seperti ini sangat dimengerti oleh mereka para pembawa Islam yang konon menurut sejarah dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, Persia, Yaman dan lain-lain. Wali songo istilah bagi penyebar Islam ditanah jawa yang berjumlah sembilan (songo) menerapkan sistem dakwahnya dengan melebur dan berasimilasi dengan adat-adat lokal, tentunya dengan integritas keilmuan, dan keislaman mereka yang tinggi, wali songo tahu dan faham betul mana yang bisa ditolerir untuk dileburkan antara akidah dan budaya, dan mana yang sifatnya prinsip ideologis yang sama sekali tidak boleh ditawar untuk dileburkan dengan unsur budaya. Sulit terbantahkan bahwa wali songo memang telah punya andil besar dalam usaha penyebaran & penegakan Islam dipulau jawa pada saat itu. Selanjutnya pada era mrid-murid mereka Islam gaya wali songo terus mengepakkan sayapnya dihampir seluruh belahan nusantara. Dengan kalimat yang tidak berlebihan layaklah wali songo juga disebut penyebar Islam dinusantara ini -tidak hanya di pulau jawa-.

Indonesia dan Pesantren
Dengan kuantitas yang mendominasi, angka 90 -koma sekian persen- telah menghantarkan klaim bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan 200 juta jiwa lebih penduduk Indonesia beridentitaskan Islam. Sebuah jumlah angka yang sebenarnya tidak dihasilkan dari abrah kedabrah atau bim salabim layaknya pesulap diatas panggung. Prestasi ini diraih melalui proses panjang, perjuangan, ketidak pamrihan, dan jerih payah para ulama militan dalam rentang waktu yang relatif lama dan berliku.

Proses belajar mengajar – atau kalau pengin dibilang mentereng- proses transfer nalar intelektual dan sepiritual sebenarnya sudah berlangsung lama jauh hari sebelum belanda mendarat mendzolimi bangsa ini. Dari suarau-surau kecil dipedesaan proses belajar mengajar(baca: pengajian) terus berlangsung. Pelan, perlahan, namun gerakan ini konkrit dan membuahkan hasil yang nyata. Islam terus berkembang dan mengakar sampai pada tataran grass root (lapisan bawah). Semangat, kepedulian bahkan fanatisme masyarakat nusantara terhadap Islam semaikn meningkat. Dari sinilah lompatan demi lompatan terus terjadi, sehingga suarau-suarau kecil atau bisa disebut langgar-langgar doyong berkembang melahirkan bilik-bilik (kamar-kamar). Dari sinilah cikal bakal pesantren terlahir. Dari sistem yang sanagt tradisional, klasikal hingga terus berkembang dengan berbagai multiragam macam pesantren. Keluaran dari pesantren-pesantren inilah yang kedepan meneruskan estafet perjuangan para ulama terdahulu di Indonesia. Pesantren telah dan masih menjadi agen peubahan peradaban dari Jahiliyah Indonesiais menuju peradaban Islam. Pesantren telah menyumbangkan fakta sejarah mencetak kader-kader muslim jauh hari bahkan jauh tahun sebelum peguruan tinggi maupun universitas menjamur bertebaran di nusantara ini.

Pada tahun 1926M dengan dilokomotofi Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari komunitas kaum pesantrten membidani lahirnya sebuah wadah jam’iyyah diniyyah yang kemudian diberi nama Nahdlotul Ulama(NU). Kaum santri bisa bergabung dengan NU ini untuk bisa lebih tertata dan terorganisir berbagai macam kegiatannya. Dari sinilah titik awal korelasi erat antara pesantren dan NU, antra para kyai, santri dan NU. Dalam tinjauan lebih luas dari sinilah hubungan erat antara pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tradisional yang membumi di Indonesia dengan Indonesia sebagai Negara.

Bobolnya Gawang Pertahanan
Globalisasi dan modernisme yang menggiring pada pola hedonisme dan pragmatisme disadari atau tidak berpengaruh pula pada pergeseran pola piker generasi NU. Jargon andalan Al muhafadhotu ‘ala qodiimi as shoolih wal akhdzu bil jadiid al aslhah sering bias dalam tataran perakteknya. Para kader muda NU sering kurang percaya diri dengan apa yang ada dalam khazanah NU. Lompat sana-lompat sini, dan glombang melompat ini terus mengalir pada pos-pos asing yang mungkin dianggap menawarkan iming-iming yang lebih menjanjikan. Dari sini babak kroposnya pertahanan berbasis langgar doyong semakin akut...padahal disanalah tulang punggung NU berada...
Robbii...Anzilnii..Munzalan Mubaarokaa..wa Anta Khoirul Munziliin..

Jumat, 02 Oktober 2009

MANA AKSIMU?

PERTAHANKAN AHLUSUNAH YANG SNATUN DAN PRINSIPIL DI BUMI NUSANTARA INI...ATAU ISLAM AKAN TAMPAK EKSTRIM+BERGAYA MALAIKAT?
Era Senja
Di Era yg kian senja ini, kita tak bisa menghindar dari kepungan jaring-jaring globaisasi yang sarat dengan pragmatisme, dan ma'siatisme...namun setidaknya hati kita jangan pernah dibonsai untuk tetap pegin cinta dan bisa dekat dengan yang maha abadi...
ya rabb....kumalu pada..Mu..
PERTAHANKAN AHLUSUNAH YANG SNATUN DAN PRINSIPIL DI BUMI NUSANTARA INI...ATAU ISLAM AKAN TAMPAK EKSTRIM+BERGAYA MALAIKAT?

Dalam blog ini