Minggu, 11 Oktober 2009

Pengertian Manhaj Salaf dan Ittiba’

Golongan Wahabi, yang belakangan mengganti nama menjadi Salafiyah (golongan pengikut Salaf), telah membajak kata salaf. Makna Salaf di tangan mereka dicederai, dikerangkeng pada permasalagan furu’iyyah dan perdebatan-perdebatan lama ulama klasik. Baik di bidang fiqh, ilmu kalam, maupun tasawuf. Dalam bidang fiqh, mereka lebih konsen membid’ah-bid’ahkan tradisi maulid nabi, ziarah dan sejenisnya; mensyirik-syirikkan tawassul, istighotsah, dan puji-pujian kepada rasul dan sejenisnya. Dalam ilmu kalam, alih-alih menanamkan hakikat makna tauhid, mereka justru mendebatkan kembali tentang, misalnya, asma wa shifat dan bahayanya menakwil ayat-ayat mutasyabihat dengan talwil yang sesuai dengan keagungan Allah dan lain-lain. Mereka akan menyesatkan siapapun yang tidak sejalan dengan alur pemikiran mereka.

Dr. Said Romadhon Al-Buthi mengatakan, menisbatkan diri kepada salaf melalui pemakaian istilah ”Salafiyah”, untuk menyatakan diri sebagai golongan yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan dan berdiri sendiri di luar jama’ah umat Islam adalah bentuk pemisahan diri dari jama’ah. Memisahkan diri dari jama’ah adalah bid’ah karena merupakan bentuk fanatisme.

Salaf berasal daru kata salafa yang berarti dahulu. Secara etimologis, kata salaf sepadan dengan kata qoblu yang artinya segala sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah kholaf. Kata salaf kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam. Yakni tiga generasi pertama Islam: sahabat, tabi’in dan tabi’-tabi’in. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw.:

”Sebaik-baik ummatku adalah pada kurunku, kemudian kurun setelahnya, kemudian kurun setelahnya” (HR. Bukhori-Muslim)

Perintah mengikuti salaf disebutkan dalam Al-Quran dan beberapa hadis shohih, yaitu:

a. Perintah mengikuti sahabat:
” Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasaniya itu. Dan Kami masukkan dia ke dalam neraka jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 115)

Ayat ini menjadi dasar penting tentang kewajiban kita dalam memahami Alquran dan Sunnah harus sesuai dengan metodologi dan pemahaman orang-orang mukmin. Ayat ini menjadi landasan atas kesekapakatan (ijma’) ulama (kecuali menurut pendapat sebagian ahli bi’ah) bahwasanya ijma sahabat bisa dijadikan hujjah.

”Rasulullah saw. bersabda: ’Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan,. Umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Sedang umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat dari 73 itu golongan itu hanya 1, sementara lainnya celaka. Ditanyakan kepada Beliau: ’siapakah golongan yang selamat itu?’ Rasulullah saw menjawab: Orang-orang yang mengikuti aku dan sahabat-sahabatku” (HR. Turmudzi)

”berpegang-teguhlah kamu semua kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrosyidin yang mendapatkan petunjuk” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)

b. Perintah mengikuti tabi’in dan tabi’-tabi’in
”Sebaik-baik ummatku adalah pada kurunku, kemudian kurun setelahnya, kemudian kurun setelahnya” (HR. Bukhori-Muslim)


Di Tulis oleh El Fatih Imaduddin, dipostingkan Muslih Fathoni Hp.085743612845

0 komentar:

Posting Komentar

Dalam blog ini