Kamis, 24 Desember 2009

TRANSEKSUAL

Fenomena aneh kembali muncul. Dea atau Agus, pria kelahairan Batang Jawa tengah muncul di TVOne memberikan keterangnnya. Ia mantap mengambil keputusan operasi kelamin, dari pria tran ke wanita. Dari bentuk fisiknya, Agus memang tampak seperti perempuan alami, tidak seperti kebanyakan laki-laki yang terlalu memaksakan diri untuk tampil seperti perempuan. Kulit, mata, bibir, suara, dan berbagai organ fisik luar Agus memang benar-benar perempuan. Hanya alat kelaminnya saja yang memaksa memberikan status laki-laki pada Agus. Proses tawar menawar batin dalam diri Agus telah berproses begitu lama. Jenis kelamin laki-laki, tapi begitu banyak dari sisi lain Agus ini dominan ke perempuan, bahkan dalam kesehariannya Agus lebih merasa nyaman hidup sebgai perempuan.
Berdosakah…?
Fenomena alamiah seperti ini, patut disikapi dengan arif, utamanya bagi mereka para pemegang otoritas hukum Islam. Para santri yang berda di pondok-pondok pesantren, para cendikiawan muslim yang terkumpul dalam wadah Majlis Ulama Indonesia (MUI), dituntut untuk tidak prematur dalam memutuskan berbagai keputusannya. Pendekatan dari berbgai sisi perlu ditempuh. Psikologi, sosiologi, minimal dua sisi itu perlu digali oleh para pemegang otoritas kebijakkan hukum Islam, tidak sekedar melalui pendekatan landasan-landasan nash yang normatif.
Fiqih, oleh Abdul Wahab (1956) dalam kitabnya Ilmu Ushul al Fiqhi, didefinisikan “ Al ilmu bi al ahkaami as syar’iyyati al amaliyyati al muktasabi min adillaatiha at tafshiliyati”, ( Pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah/perbuatan yang digali dari sumber hukum yang bersifat terperinci), merupakan salah satu ilmu dalam Islam yang digunakan untuk menentukan sebuah hukum atas apapun yang dilakukan manusia. Kajiannya biasanya meliputi halal, haram, wajib, sunah, makruh, serta boleh (jawaz).
Dalam tataran prakteknya, fiqih kemudian tidak bisa berfungsi tanpa alat bantu dari perangkat ilmu-ilmu penopang lainnya, seperti ushul al fiqih, kaidah fiqih dan ilmu penunjang lainnya. Sebagaimana diceritakan – bahkan sudah melegenda di sebagian kalangan- Imam Syafi’i sendiri begitu lama malakukan riset, investegasi, dan mengadakan kajian yang mendalam tentang haid (menstruasi), ketika Imam syafi’i akan merumuskan tentang hukum-hukum yang terkait dengan haid itu. Hal ini beliau tempuh, supaya dalam keputusannya nanti tidak hanya sesuai dengan dalil-dalil normatif, melainkan sesuai juga dengan kondisi real dilapangan pada saat itu. Dalam keputusan fiqih, biasanya menggunakan generalisasi, maksudnya mengambil pada mayoritas yang terjadi dalam sebuah kumpulan masyarakat. Contohnya kalau dalam sebuah penilitian diambil sampel sepuluh orang perempuan, diuji berulang kali, dari berbagai tempat, sembilan orang dari mereka itu menjalani masa haid tujuh hari, maka diambil keputusan batas standar umum haid perempuan ialah tujuh hari.
Di sini bukan berarti yang satu dari mereka itu tidak ada hukum batas standarnya bukan? Karena, yang satu inipun harus ada hukumnya, karena ia juga sama ada sebagai realitas.
Dari sini, Dea atau Agus ada sebagai realitas. Kurang bijak kiranya ketika menyikapi Agus melalui pendekatan-pendekatan mayoritas, karena pada hakekatnya ia-pun sama seorang hamba Tuhan, hanya saja ketepatan ditakdirkan dalam kedaan tidak seperti mayoritas manusia pada umumnya. Benar, bahwa para ulama sepakat, syari’at adalah kebenaran mutlak ilhiyyah (Ketuhanan), yang tidak perlu ditakar dulu apakah sudah sesuai dengan akal atau tidak. Karena, terdapat banyak hal yang menunjukkan keterbatasan akal manusia. Tapi ini masalah fiqih, masalah keputusan hukum, masalah keputusan yang dihasilkan dari proses pergulatan akal manusia yang menggali dari dalil-dalil, dan melaui pendekatan-pendekatan dari berbagai piranti penunjang.
Rahmatan Lil ‘Alamiin
Nabi Muhammad, empat belas abad yang silam, benar-benar telah banyak memberikan teladan. Keputusan-keputusan nabi penuh dengan kearifan, kesantunan, dan humanitas. Tidak memihak sebuah golongan walau berhadapan dengan orang-orang kafir. Nabi selalu memposisikan hukum pada posisi yang tawasuth (tengah-tengah) walau di dalamnya berbaur berbagai golongan, etnis, bahkan lintas agama. Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, dan peletakkan Hajar Aswad yang sempat tergeser dari posisi semula, semua itu merupakan teladan yang real dari sosok nabi yang bisa memberikan rasa keadilan pada semua golongan, bahkan lintas agama. Hanya batu – atau yang lebih keras dari itu- sajalah yang menolak ajaran-ajaran sang nabi ini. Sudah saatnya kita kembali memperbaharui ingatan kita untuk mencontoh pada sang nabi ini. Menghadirkan agama bukan hanya sebagai penakut, yang meneror manusia dengan ancaman ganasnya api neraka, tapi memperkenalkan juga nilai-nilai kasih sayang Tuhan, yang selalu memberikan angin surga kedamaian dalam beragama. Islam hadir bukan hanya untuk golongan mayoritas, bukan pula hanya untuk orang Islam, tapi Islam hadir untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam tanpa batas.

Selasa, 15 Desember 2009

rindu ini terus mmenggrogoti kewarasanku
rindu ini terus mendera ketenangan jiwaku
rindu ini menggoyahkan konsentrasiku
rindu ini menyiksa relung-relung pojok hatiku
rindu ini membakar api cemburuku
rindu ini menggodaku untuk menuntut Tuhanku
rindu ini menduakan ingatanku, dzikirku
rindu ini koyakkan ketulusanku

rindu ini semangatkan jiwaku
rindu ini kobarkan jihadku melawan ke-akuan-ku
rindu ini tumbuhkan harapku
rindu ini ringankan beratku
rindu ini bangunkan tidurku
rindu ini sadarkan lamunanku
rindu ini hidupkan matiku
rindu ini dekatkan jauhku
rindu ini gagalkan semua yang mencoba hadir untuk mewakilinya, baik kata maupun pena

Ciputat, 04.00 WIb, 15 Desember 2009
Buatmu purnamaku.

Sabtu, 12 Desember 2009

sebegitu besarkah salahku...hingga kekecilan dan kebeliaanmu mampu campakkan ketuaan dan kelebih duluanku dalam satu sisi...?aku terpenjara karena mu...

Rabu, 09 Desember 2009

Aku Hanya...

Gejolak ini datang menyapaku kembali, rasa jiwaku dibuat teracak-acak, bergemuruh, harap-harap cemas kudibuatnya…. Pidato Prof. Quraish Shihab di Auditorium Utama UIN Jakarta 12 November 2009 saat itu itu – tentang betapa pentingnya pengaruh kemantapan hati- ikut menjustifikasi apa yang kurasa saat ini. Ku begitu menaruh hormat dan memuliakan rasa yang mulia seperti ini, rasa ini belum pernah kujual pada orang yang memang aku ga feel dengannya, rasa ini membuat acakku jadi rapi, hitamku jadi putih, buramku jadi jelas, raguku jadi sebuah kemantapan, takutku jadi berani dan jauhku jadi dekat.
Entah karena apa rasa tulusku untuknya masih terus tumbuh sampai saat ini. Apa karena dia masuk pada fakultas dan kampus yang bergengsi di Indonesia ini?, apa karena dia sekarang sedang menghafal al Qur’an? Apa karena dia terlalu manis saat senyumnya terrekam jelas oleh lensa matamu? Apa karena dia sesekali mencurahkan gejolak jiwanya saat dia butuh seseorang untuk bersandar?apa karena kamu pernah merasa gagah saat kamulah satu-satunya orang yang dipercaya untuk mengawalnya ke bandara Soekarno Hatta saat dia mau pulang ke negeri kelahirannya, setelah ribuan hari ia terpisah dari keluarganya? apakah karena ia memiliki geneologi keilmuan yang sama denganmu, Lirboyo…?atau karena atau-atau yang lain….??????
Cukup….cukup…cukup…
Jangan kau terus brondong aku dengan semua pertanyaa-pertanyaan tajammu itu…
Aku hanya orang yang sedang belajar jujur dengan perasaanku
Aku hanya orang yang sedang belajar takut mencintai sesuatu karena motif duniawi
Aku hanya orang yang sedang berjalan menuju ketenangan jiwa..
Aku hanya orang yang sedang berharap punya keturunan yang cerdas sholeh-shloleha..
Aku hanya orang yang ingin mendapatkan keindahan rasa ciptaan dzat yang maha indah..

Minggu, 06 Desember 2009

Penyimpangan dalam Tafsir

Penyimpangan dalam Tafsir
06/12/2009
Oleh: M.Anwar Sarrifudin
Dosen FU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengantar

Judul pertemuan ini sebenarnya agak provokatif, karena kata “penyimpangan” mengandaikan kita sebagai pembaca sekaligus juri yang memiliki otoritas untuk menetapkan sebagian tafsir sebagai “yang benar” dan sebagian yang lain “salah”. Posisi yang agak “memihak” ini agaknya didasarkan pada kenyataan bahwa faham keagamaan yang diikuti kelompok mayoritas, dalam hal ini kelompok “ahlus sunnah” diposisikan sebagai pemegang otoritas “kebenaran” atas nama jumhurul ulama, mayoritas ulama yang memiliki kesamaan pendapat. Di sinilah jumhur diberikan hak untuk menetapkan prinsip-prinsip standar yang menjadi ukuran “ortodoksi”. Akibatnya, padangan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh jumhur dianggap sebagai bentuk “penyimpangan”.

Oleh karena itu, sumber bacaan untuk pembahasan ini, al-Ittijahat al-munharifa fi tafsir al-Qur’an karya Muhammad Hussein al-Dzahabi, hendaknya dibaca sebagai sebuah karya yang berisi analisis model terhadap metode/hasil penafsiran yang menyimpang dilihat dari perspektif sunni. Perspektif ini relevan mengingat faham keagamaan ahlu sunnah diposisikan sebagai faham keagamaan resmi yang dianut sebagian besar kaum muslimin Indonesia yang juga merepresentasi faham keagamaan resmi yang diakui oleh pemerintah.

Sebuah sumber bacaan online yang merupakan bentuk saduran dari karya M.H. Adz-Dzahabi (mungkin dari edisi yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) dapat dilihat dalam link berikut,

http://mangzaka.blogspot.com/2009/02/penyimpangan-penyimpangan-dalam.html

Sedikit catatan dalam mengakses sumber di atas, saya katakan “saduran” karena tulisan tersebut tidak menyertakan analisis penulisnya sendiri, hanya menulis ulang atau mungkin menyarikan dari sumber aslinya. Ketika penulisnya bahkan tidak mencantumkan sumber rujukan asli, maka hal tersebut sebenarnya dapat dikategorikan sebagai bentuk “plagiarisme” atau upaya menjiplak yang dilarang dalam dunia akademik, karena seolah-olah menuliskannya atas nama dirinya sendiri, padahal itu adalah hasil karya orang lain. Oleh karena itu, mohon untuk tidak dicontoh, apalagi dirujuk sebagai sumber bacaan untuk tulisan yang ingin anda buat. Untuk merujuk sebagai sumber bacaan, maka harus melihat kepada buku asli karya M.H. Adz-Dzahabi, baik dalam edisi bahasa Arab, maupun edisi terjemahan bahasa Indonesia.

Jumat, 04 Desember 2009

Tafsīr dan Ta’wīl: Analisis Lughawi

Tafsīr dan Ta’wīl: Analisis Lughawi

Kata Arab tafsīr, diambil dari bentuk dasar f-s-r dan bentuk sungsangnya s-f-r. Bentuk dasar pertama dipakai untuk makna “menjelaskan”. Bentukan kata bendanya, al-fasr, berarti “penjelasan” yang kadang juga dirujuk sebagai “observasi dokter melalui medium air”.[i] Dari beberapa pemakaian kata di atas, jelas bahwa penggunaan kata tafsīr dengan merujuk bentuk dasar f-s-r mensyaratkan dipakainya sebuah medium dalam menjalankan proses penafsiran, sehingga kata Arab tafsira, misalnya, didefinisikan sebagai “aktivitas mencari tahu penyebab sebuah penyakit”. Akan tetapi, ada dua syarat yang diperlukan untuk menandai validitas pemakaian makna ini, yaitu: adanya objek yang berupa tafsira sendiri dan akivitas observasi atau analisis. Dua syarat ini penting, seperti diungkapkan Nasr Abu Zayd di dalam Mafhūm al-Nash, mengingat seorang dokter tidak akan begitu saja sampai kepada sebuah diagnosis yang mendekati kebenaran jika ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup berdasarkan penelitiannya terhadap objek tafsira tadi.[ii] Sementara itu bentukan dasar kedua melalui bentuk sungsang s-f-r membentuk makna “aktivitas transformatif”[iii] yang bisa dikaitkan dengan tradisi hermetik dalam hubungan transfer pengetahuan melalui wahyu atau aktivitas menjelaskan makna wahyu. Penggunaan makna pertama sangat jelas pada pemakaian kata safīr yang berarti rasul, atau malaikat yang membawakan wahyu kepada para Nabi atas izin Tuhan. Makna ini bisa diterapkan pada QS 80:15, “biaydiy safarah kirāmin bararah (di tangan para malaikat yang mulia dan penuh kebajikan…). signifikansi kedua tampak jelas pada penggunaan kata sifr yang berarti kitab/buku. Asal usul kata sāfir dipakai untuk menunjuk kepada “penulis” (kātib), karena fungsi seorang penulis adalah menerangkan sesuatu dan membuatnya menjadi jelas. Atas dasar ini, kata kitāb bermakna aktivitas menjelaskan apa yang tersembunyi di hati dan melepaskannya dari keterpenjaraan hati. Akan halnya kata Arab ta‘wīl dirujuk dari bentuk dasar a-w-l yang bermakna kembali. Pemakaian kata ini dalam al-Qur’ān menunjuk ke arah aktifitas memberikan penjelasan, seperti juga dipakai untuk kata tafsir.[iv] Berbeda dengan kata tafsir yang dipakai hanya sekali di dalam al-Qur’ān, kata ini ditemukan di 17 tempat di dalam al-Qur’ān, yang bila ditilik melalui peradaban Arab pada masanya, kata ini sangat erat hubungannya dengan tradisi penafsiran mimpi, yang darinya seseorang dapat menarik pelajaran.[v] Berbeda dengan aktivitas tafsir yang mutlak mensyaratkan medium sebagai unsur utama dalam proses penafsiran, penggunaan kata ini tidak mutlak mensyaratkan hal yang sama, karena ta’wil bisa didapatkan tanpa medium sama sekali, seperti diisyaratkan oleh QS 18:78 dan 82, di mana penjelasan Khidr atas perbuatannya bukan didasarkan pada cakrawala pandangan secara umum, sebagaimana juga Musa memprotesnya, tetapi didapatkan melalui pengetahuan Tuhan yang diterimanya, Khidr menjelaskan pembenaran atas tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Essensi yang bisa kita tarik dari analis bahasa terhadap kata tafsīr dan ta’wīl di atas adalah adanya sebuah petunjuk yang jelas bahwa dua kata ini sama-sama dipakai untuk aktivitas yang berkaitan dengan “penjelasan atas Kalamullah” (bayān kalāmillāh). Lepas dari persoalan apakah hal ini termasuk kategori ilmu khusus ataukah hanya sebuah istilah biasa yang berlaku universal, kedua kata ini sejak masa awal Islam sudah dipakai untuk nama judul karya yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur’ān secara umum, tanpa merinci metode yang dipakai oleh penyusunnya. Al- Farrā’ (w.822), misalnya, menamakan kitabnya yang mengupas pemahaman linguistik terhadap al-Qur’ān dengan judul Ma‘ānī al-Qur’ān, sementara pengikut Sahl al-Tustarī memberi nama Tafsir al-Qur’ān al-Azhim untuk tafsir Sufi yang disusunnya, sedangkan Ibn Jarīr al-Tabarī menamakan kitab tafsirnya dengan sebutan Jamī‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āyy al-Qur’ān. Tiga karya tafsir ini mewakili tiga metode penafsiran yang berbeda: al-Farrā’ dengan cara al-dirāya/ra’yi, Sahl al-Tustarī dengan cara isyārī, dan Tabarī dengan al-riwāya. Walhasil, ketiganya merupakan bagian dari apa yang dianggap sebagai karakteristik umum tafsir, memberikan penjelasan terhadap Kalamullah. Tidak heran bila kemudian beberapa ulama seperti Ibn ‘Ubayd menyatakan bahwa pada masa itu tafsir dan ta’wil memang memiliki kesamaan makna.[vi]
Penyempitan Makna dan Standardisasi Konsep
Persoalan yang mengemuka, seperti dapat kita lihat dalam komentar al-Wahidi terhadap penafsiran sufistik Abu Abd al-Rahman al-Sulami adalah apakah istilah tafsir pada masa hidup al-Wahidi telah mengalami penyempitan makna, sehingga penggunaan metode isyari, seperti yang dilakukan oleh kalangan sufi dalam memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’ān tidak lagi bisa dikatakan sebagai upaya menjalankan tafsīr? Konsep penyempitan makna terhadap istilah tafsir sebenarnya telah dirintis sejak lama, ketika al-Maturidi (w.333/944) mendefinisikan istilah tersebut dengan “memberikan kepastian bahwa makna sebuah kalimat adalah demikian dengan serta memberi persaksian (syahādah) atas nama Allah bahwa Ia menghendaki maknanya seperti itu.” Makna yang dikehendaki oleh Allah ini, dalam pandangan Maturidi, harus didukung dengan dalil yang kuat agar bisa dianggap valid, bila tidak maka termasuk kategori “penafsiran rasional” (tafsīr bi al-ra’yi) yang tercela.[vii] Sampai di sini jelaslah kiranya kalau al-Māturīdī memasukkan tafsīr ke dalam proses ijtihadi, di mana pengambilan makna yang menjadi penjelasan terhadap ayat al-Qur’ān harus disertai dengan argumen yang meyakinkan. Sejalan dengan penolakan terhadap metode tafsīr bi al-ra’yi sejak masa awal Islam, maka argumen yang dipakai untuk melandasi pengambilan makna tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’ān juga mesti disandarkan pada argumentasi naqli di mana peranan akal direduksi sampai pada taraf minimal, bahkan tidak ada sama sekali karena yang menentukan validitasnya bukan semata-mata pada sahihnya argumentasi itu menurut penalaran logika, tetapi tergantung pada kuat dan banyaknya rangkaian perawi yang bersetuju. Ini dimungkinkan baik dengan mengambil argumen yang bernilai penjelasan yang berada dalam bahagian lain dari al-Qur’ān sendiri, yang diyakini diriwayatkan secara mutawatir, sehingga tidak perlu diingkari kesahihannya, atau dengan mengutip hadits yang semakin sahih bila diriwayatkan banyak perawi yang kuat, tsiqa. Mengkonsepsi tafsir seperti diungkap oleh al-Māturidi di atas mengarah pada justifikasi penafsiran melalui pendekatan skriptural, terutama menyangkut sumber utama hukum Islam: al-Qur’ān dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap al-Qur’ān dianggap valid jika didasarkan pada argumen-argumen yang juga disuarakan oleh al-Qur’ān sendiri, ataupun didapatkan penjelasannya di dalam sunnah Rasul. Akibatnya, pengaruh perkembangan ilmu hadits ke dalam menentukan arah metode penafsiran yang dianggap valid terhadap al-Qur’ān menjadi sangat sentral. Tafsir sudah sejak lama menjadi bagian dari ilmu hadits, seperti Bukharī di dalam kitab Shahih-nya juga menyertakan bagian tersendiri tentang tafsīr. Atas pertimbangan ini pula tampaknya penilaian terhadap validitas makna yang diberikan kepada sebuah ayat al-Qur’ān kemudian sangat bergantung pada kesahihan riwayat yang membawanya. Di samping itu, beberapa elemen penafsiran seperti qirā’at, nuzul ayat, nasikh mansukh, Makkī dan Madanī, juga bertopang pada validitas riwayat hadits yang membawanya. Dengan membatasi tafsīr hanya untuk penjelasan yang berdasarkan makna yang diyakini menjadi makna yang dikehendaki oleh Allah sebagai Sang Pemilik Kalam di dalam al-Qur’ān, proses tafsīr digolongkan ke dalam metode i‘tibārī, yaitu dengan “membatasi makna dan menjadikannya terikat hanya dengan pemakaian makna itu.”[viii] Pembatasan makna yang bermuara pada dimensi teologis, dengan meyakini bahwa inilah makna sebenarnya yang dikehendaki Tuhan terhadap kalamnya kepada manusia, membuat tafsīr tidak mampu melampaui batas denotasi seperti yang tertuang dalam makna zhahir dari sebuah lafadh al-Qur’ān, mengingat pesan al-Qur’ān diperuntukkan untuk seluruh ummat manusia. Hanya makna zhahir saja yang mampu memberikan makna umum secara universal, lepas dari segala jenis konotasi dan makna-makna khusus yang bersifat lokal. Metode ini juga dasarnya meminimalisasi peran rasio dalam menentukan sebuah makna karena yang terjadi adalah pemberian makna melalui konsesi pemakaian bahasa yang berlaku secara umum. Walhasil, metode ijtihadi yang tampak dalam proses tafsīr, baik menyangkut prosedur penyandaran argumen, maupun kecenderungan untuk menutup kemungkinan lain pengambilan makna di luar konsesi zhahir, menjadi upaya yang memagari tafsīr dari peran dominan akal yang sejak awal Islam sudah diperingatkan tentang keburukannya. Pengalihan dari makna zhahir, misalnya, hanya dimungkinkan ketika terjadi kendala teologis akibat kesan tasybih yang mengarah pada gejala anthropomorfisme, sehingga diperlukan panafsiran metaforis yang keluar dari makna literalnya. Dalam hal ini, metode ta’wil didefinisikan oleh Maturidi sebagai “memilih salah satu makna dari berbagai alternatif arti yang dimungkinkan tanpa disertai pemberian kesaksian atas nama Allah.”[ix] Hanya saja kalangan yang menutup sama sekali dari penafsiran bi al-ra’yī juga menolak bentuk ta’wil yang merupakan interpretatsi metaforis dengan mengedepankan konsep tanzīh. Dengan begitu kesucian dan ketidakserupaan Allah dengan makhluknya bisa tetap terjaga. Bila kita meramu penjelasan-penjelasan yang mendasari penyempitan makna tafsīr, maka konsekuensi lanjutan yang bisa diraih adalah berlangsungnya proses standarisasi, ketika tafsir kemudian dipahami sebagai bentuk penafsiran yang bersifat formal dan umumnya mendapatkan pujian, sementara ta’wil sebaliknya merupakan bentuk penafsiran yang tidak formal dan umumnya mendapatkan kecaman. …
________________________________________
catatan akhir [i] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Kairo : Dār al-ma’ārif, tanpa tahun, vol. v, h.3412-13. [ii] Nash Hāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Nash, Kairo: Matba’ah al-hayāt al-misriyya li ‘ammat al-kitāb, 1993, h. [iii]Bentuk verbal safara bermakna: manyapu, mengangkat selubung, angin yang menyapu awan, wanita yang menyingkapkan penutup wajahnya, menemukan sesuatu, mendamaikan dua pihak yang bersengketa, atau juga menulis buku. Lihat E.W Lane, An Arabic English Lexicon, Cambridge: 1984, vol. i, 1370. [iv] QS.10:39. [v]Ada banyak variasi berkaitan dengan hal ini, seperti penggunaan kata ta’wil dalam surat Yusuf secara umum mengangkat makna “penjelasan atau tafsir mimpi”. QS 12:6, 21, 101 menyebut dengan istilah ta’wil al-ahādits, sementara QS 12:44 menyebutnya dengan ta’wil al-ahlām, sedangkan QS 12:100 menyebut ta’wīl al-ru’ya. Lihat Nashr Hāmid Abu Zayd, Mafhūm al-nash, Kairo: matba’ah al-hayāt al-mishriyya li ‘ammāt al-kitāb, 1993, h.287. [vi] Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Al-Itqān fi ulum al-Qur’ān, Kairo: Masyhad al-husayniyya, 1967, vol. iv, h.167. [vii] Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164. [viii]Naîr Hāmid Abū Zayd, Hakadhā Takallam Ibn Arabī, Kairo: al-Hai’ah al-misriyya al-amma li al-kitāb, 2002, h.139. [ix]Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164. Naskah lengkap tulisan ini berjudul “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur’an” yang dimuat dalam dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat vol.1, no.2 Desember 2004, halaman 1 – 18. Jurnal ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah.

Kamis, 03 Desember 2009

siang itu kumenyusuri jalan pesanggrahan, sebuah jalan kecil samping kampus UIN Jakarta...ratusan mmahasiswa bahkan ribuan sedang berlalu lalang disana, sementara para pedagang ramai dan sibuk dengan garapan proyek dunia mereka...
semenatara saya terus menyusuri jalan itu dengan pakaian khas saya, sarung dan kemeja...tidak ada satupun diarea sekitar orang yang pakai sarung, karena disitu memeang bukan masjid bukan pula lingkungan pesantrren. Bukan, bukan berarti saya pengin mendemmonstrasikan diri bahwa inilah saya santri...tidak itu maksudku..tapi disamping saya memang nyaman dengan pakaian itu, saya juga ingin menguji diri sendiri bahwa saya akan tetap PD dengan langkah apa yang saya ambil walau jutaan manusia yang lain mentertawakan diriku, saya hanya ingin menguji diri sendiri sejauh mana saya mempertahankan kesayaan saya, karena saya yakin bahwa saya adalah saya sendiri yang mempunyai identitas sendiri....
saat itu, sore 12 Desember 2009.
kuterbangun kembali dari tidur panjangku
merunduk, terbalut malu, kau lemparkan senyum manismu
ditemani semankok ayam steak dan segelas juice alpokat
kau temani jiwa ragaku yang telah lama tertidur...
kelembutanmu, Qur'animu, kecerdasanmu, kesederhanaanmu..
mungkin itu yang membuat hatiku terbuka setelah sekian lama terkunci
عندي انت كا لبدر.....

Dalam blog ini