Fenomena aneh kembali muncul. Dea atau Agus, pria kelahairan Batang Jawa tengah muncul di TVOne memberikan keterangnnya. Ia mantap mengambil keputusan operasi kelamin, dari pria tran ke wanita. Dari bentuk fisiknya, Agus memang tampak seperti perempuan alami, tidak seperti kebanyakan laki-laki yang terlalu memaksakan diri untuk tampil seperti perempuan. Kulit, mata, bibir, suara, dan berbagai organ fisik luar Agus memang benar-benar perempuan. Hanya alat kelaminnya saja yang memaksa memberikan status laki-laki pada Agus. Proses tawar menawar batin dalam diri Agus telah berproses begitu lama. Jenis kelamin laki-laki, tapi begitu banyak dari sisi lain Agus ini dominan ke perempuan, bahkan dalam kesehariannya Agus lebih merasa nyaman hidup sebgai perempuan.
Berdosakah…?
Fenomena alamiah seperti ini, patut disikapi dengan arif, utamanya bagi mereka para pemegang otoritas hukum Islam. Para santri yang berda di pondok-pondok pesantren, para cendikiawan muslim yang terkumpul dalam wadah Majlis Ulama Indonesia (MUI), dituntut untuk tidak prematur dalam memutuskan berbagai keputusannya. Pendekatan dari berbgai sisi perlu ditempuh. Psikologi, sosiologi, minimal dua sisi itu perlu digali oleh para pemegang otoritas kebijakkan hukum Islam, tidak sekedar melalui pendekatan landasan-landasan nash yang normatif.
Fiqih, oleh Abdul Wahab (1956) dalam kitabnya Ilmu Ushul al Fiqhi, didefinisikan “ Al ilmu bi al ahkaami as syar’iyyati al amaliyyati al muktasabi min adillaatiha at tafshiliyati”, ( Pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah/perbuatan yang digali dari sumber hukum yang bersifat terperinci), merupakan salah satu ilmu dalam Islam yang digunakan untuk menentukan sebuah hukum atas apapun yang dilakukan manusia. Kajiannya biasanya meliputi halal, haram, wajib, sunah, makruh, serta boleh (jawaz).
Dalam tataran prakteknya, fiqih kemudian tidak bisa berfungsi tanpa alat bantu dari perangkat ilmu-ilmu penopang lainnya, seperti ushul al fiqih, kaidah fiqih dan ilmu penunjang lainnya. Sebagaimana diceritakan – bahkan sudah melegenda di sebagian kalangan- Imam Syafi’i sendiri begitu lama malakukan riset, investegasi, dan mengadakan kajian yang mendalam tentang haid (menstruasi), ketika Imam syafi’i akan merumuskan tentang hukum-hukum yang terkait dengan haid itu. Hal ini beliau tempuh, supaya dalam keputusannya nanti tidak hanya sesuai dengan dalil-dalil normatif, melainkan sesuai juga dengan kondisi real dilapangan pada saat itu. Dalam keputusan fiqih, biasanya menggunakan generalisasi, maksudnya mengambil pada mayoritas yang terjadi dalam sebuah kumpulan masyarakat. Contohnya kalau dalam sebuah penilitian diambil sampel sepuluh orang perempuan, diuji berulang kali, dari berbagai tempat, sembilan orang dari mereka itu menjalani masa haid tujuh hari, maka diambil keputusan batas standar umum haid perempuan ialah tujuh hari.
Di sini bukan berarti yang satu dari mereka itu tidak ada hukum batas standarnya bukan? Karena, yang satu inipun harus ada hukumnya, karena ia juga sama ada sebagai realitas.
Dari sini, Dea atau Agus ada sebagai realitas. Kurang bijak kiranya ketika menyikapi Agus melalui pendekatan-pendekatan mayoritas, karena pada hakekatnya ia-pun sama seorang hamba Tuhan, hanya saja ketepatan ditakdirkan dalam kedaan tidak seperti mayoritas manusia pada umumnya. Benar, bahwa para ulama sepakat, syari’at adalah kebenaran mutlak ilhiyyah (Ketuhanan), yang tidak perlu ditakar dulu apakah sudah sesuai dengan akal atau tidak. Karena, terdapat banyak hal yang menunjukkan keterbatasan akal manusia. Tapi ini masalah fiqih, masalah keputusan hukum, masalah keputusan yang dihasilkan dari proses pergulatan akal manusia yang menggali dari dalil-dalil, dan melaui pendekatan-pendekatan dari berbagai piranti penunjang.
Rahmatan Lil ‘Alamiin
Nabi Muhammad, empat belas abad yang silam, benar-benar telah banyak memberikan teladan. Keputusan-keputusan nabi penuh dengan kearifan, kesantunan, dan humanitas. Tidak memihak sebuah golongan walau berhadapan dengan orang-orang kafir. Nabi selalu memposisikan hukum pada posisi yang tawasuth (tengah-tengah) walau di dalamnya berbaur berbagai golongan, etnis, bahkan lintas agama. Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, dan peletakkan Hajar Aswad yang sempat tergeser dari posisi semula, semua itu merupakan teladan yang real dari sosok nabi yang bisa memberikan rasa keadilan pada semua golongan, bahkan lintas agama. Hanya batu – atau yang lebih keras dari itu- sajalah yang menolak ajaran-ajaran sang nabi ini. Sudah saatnya kita kembali memperbaharui ingatan kita untuk mencontoh pada sang nabi ini. Menghadirkan agama bukan hanya sebagai penakut, yang meneror manusia dengan ancaman ganasnya api neraka, tapi memperkenalkan juga nilai-nilai kasih sayang Tuhan, yang selalu memberikan angin surga kedamaian dalam beragama. Islam hadir bukan hanya untuk golongan mayoritas, bukan pula hanya untuk orang Islam, tapi Islam hadir untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam tanpa batas.
Kamis, 24 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar