Jumat, 04 Desember 2009

Tafsīr dan Ta’wīl: Analisis Lughawi

Tafsīr dan Ta’wīl: Analisis Lughawi

Kata Arab tafsīr, diambil dari bentuk dasar f-s-r dan bentuk sungsangnya s-f-r. Bentuk dasar pertama dipakai untuk makna “menjelaskan”. Bentukan kata bendanya, al-fasr, berarti “penjelasan” yang kadang juga dirujuk sebagai “observasi dokter melalui medium air”.[i] Dari beberapa pemakaian kata di atas, jelas bahwa penggunaan kata tafsīr dengan merujuk bentuk dasar f-s-r mensyaratkan dipakainya sebuah medium dalam menjalankan proses penafsiran, sehingga kata Arab tafsira, misalnya, didefinisikan sebagai “aktivitas mencari tahu penyebab sebuah penyakit”. Akan tetapi, ada dua syarat yang diperlukan untuk menandai validitas pemakaian makna ini, yaitu: adanya objek yang berupa tafsira sendiri dan akivitas observasi atau analisis. Dua syarat ini penting, seperti diungkapkan Nasr Abu Zayd di dalam Mafhūm al-Nash, mengingat seorang dokter tidak akan begitu saja sampai kepada sebuah diagnosis yang mendekati kebenaran jika ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup berdasarkan penelitiannya terhadap objek tafsira tadi.[ii] Sementara itu bentukan dasar kedua melalui bentuk sungsang s-f-r membentuk makna “aktivitas transformatif”[iii] yang bisa dikaitkan dengan tradisi hermetik dalam hubungan transfer pengetahuan melalui wahyu atau aktivitas menjelaskan makna wahyu. Penggunaan makna pertama sangat jelas pada pemakaian kata safīr yang berarti rasul, atau malaikat yang membawakan wahyu kepada para Nabi atas izin Tuhan. Makna ini bisa diterapkan pada QS 80:15, “biaydiy safarah kirāmin bararah (di tangan para malaikat yang mulia dan penuh kebajikan…). signifikansi kedua tampak jelas pada penggunaan kata sifr yang berarti kitab/buku. Asal usul kata sāfir dipakai untuk menunjuk kepada “penulis” (kātib), karena fungsi seorang penulis adalah menerangkan sesuatu dan membuatnya menjadi jelas. Atas dasar ini, kata kitāb bermakna aktivitas menjelaskan apa yang tersembunyi di hati dan melepaskannya dari keterpenjaraan hati. Akan halnya kata Arab ta‘wīl dirujuk dari bentuk dasar a-w-l yang bermakna kembali. Pemakaian kata ini dalam al-Qur’ān menunjuk ke arah aktifitas memberikan penjelasan, seperti juga dipakai untuk kata tafsir.[iv] Berbeda dengan kata tafsir yang dipakai hanya sekali di dalam al-Qur’ān, kata ini ditemukan di 17 tempat di dalam al-Qur’ān, yang bila ditilik melalui peradaban Arab pada masanya, kata ini sangat erat hubungannya dengan tradisi penafsiran mimpi, yang darinya seseorang dapat menarik pelajaran.[v] Berbeda dengan aktivitas tafsir yang mutlak mensyaratkan medium sebagai unsur utama dalam proses penafsiran, penggunaan kata ini tidak mutlak mensyaratkan hal yang sama, karena ta’wil bisa didapatkan tanpa medium sama sekali, seperti diisyaratkan oleh QS 18:78 dan 82, di mana penjelasan Khidr atas perbuatannya bukan didasarkan pada cakrawala pandangan secara umum, sebagaimana juga Musa memprotesnya, tetapi didapatkan melalui pengetahuan Tuhan yang diterimanya, Khidr menjelaskan pembenaran atas tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Essensi yang bisa kita tarik dari analis bahasa terhadap kata tafsīr dan ta’wīl di atas adalah adanya sebuah petunjuk yang jelas bahwa dua kata ini sama-sama dipakai untuk aktivitas yang berkaitan dengan “penjelasan atas Kalamullah” (bayān kalāmillāh). Lepas dari persoalan apakah hal ini termasuk kategori ilmu khusus ataukah hanya sebuah istilah biasa yang berlaku universal, kedua kata ini sejak masa awal Islam sudah dipakai untuk nama judul karya yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur’ān secara umum, tanpa merinci metode yang dipakai oleh penyusunnya. Al- Farrā’ (w.822), misalnya, menamakan kitabnya yang mengupas pemahaman linguistik terhadap al-Qur’ān dengan judul Ma‘ānī al-Qur’ān, sementara pengikut Sahl al-Tustarī memberi nama Tafsir al-Qur’ān al-Azhim untuk tafsir Sufi yang disusunnya, sedangkan Ibn Jarīr al-Tabarī menamakan kitab tafsirnya dengan sebutan Jamī‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āyy al-Qur’ān. Tiga karya tafsir ini mewakili tiga metode penafsiran yang berbeda: al-Farrā’ dengan cara al-dirāya/ra’yi, Sahl al-Tustarī dengan cara isyārī, dan Tabarī dengan al-riwāya. Walhasil, ketiganya merupakan bagian dari apa yang dianggap sebagai karakteristik umum tafsir, memberikan penjelasan terhadap Kalamullah. Tidak heran bila kemudian beberapa ulama seperti Ibn ‘Ubayd menyatakan bahwa pada masa itu tafsir dan ta’wil memang memiliki kesamaan makna.[vi]
Penyempitan Makna dan Standardisasi Konsep
Persoalan yang mengemuka, seperti dapat kita lihat dalam komentar al-Wahidi terhadap penafsiran sufistik Abu Abd al-Rahman al-Sulami adalah apakah istilah tafsir pada masa hidup al-Wahidi telah mengalami penyempitan makna, sehingga penggunaan metode isyari, seperti yang dilakukan oleh kalangan sufi dalam memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’ān tidak lagi bisa dikatakan sebagai upaya menjalankan tafsīr? Konsep penyempitan makna terhadap istilah tafsir sebenarnya telah dirintis sejak lama, ketika al-Maturidi (w.333/944) mendefinisikan istilah tersebut dengan “memberikan kepastian bahwa makna sebuah kalimat adalah demikian dengan serta memberi persaksian (syahādah) atas nama Allah bahwa Ia menghendaki maknanya seperti itu.” Makna yang dikehendaki oleh Allah ini, dalam pandangan Maturidi, harus didukung dengan dalil yang kuat agar bisa dianggap valid, bila tidak maka termasuk kategori “penafsiran rasional” (tafsīr bi al-ra’yi) yang tercela.[vii] Sampai di sini jelaslah kiranya kalau al-Māturīdī memasukkan tafsīr ke dalam proses ijtihadi, di mana pengambilan makna yang menjadi penjelasan terhadap ayat al-Qur’ān harus disertai dengan argumen yang meyakinkan. Sejalan dengan penolakan terhadap metode tafsīr bi al-ra’yi sejak masa awal Islam, maka argumen yang dipakai untuk melandasi pengambilan makna tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’ān juga mesti disandarkan pada argumentasi naqli di mana peranan akal direduksi sampai pada taraf minimal, bahkan tidak ada sama sekali karena yang menentukan validitasnya bukan semata-mata pada sahihnya argumentasi itu menurut penalaran logika, tetapi tergantung pada kuat dan banyaknya rangkaian perawi yang bersetuju. Ini dimungkinkan baik dengan mengambil argumen yang bernilai penjelasan yang berada dalam bahagian lain dari al-Qur’ān sendiri, yang diyakini diriwayatkan secara mutawatir, sehingga tidak perlu diingkari kesahihannya, atau dengan mengutip hadits yang semakin sahih bila diriwayatkan banyak perawi yang kuat, tsiqa. Mengkonsepsi tafsir seperti diungkap oleh al-Māturidi di atas mengarah pada justifikasi penafsiran melalui pendekatan skriptural, terutama menyangkut sumber utama hukum Islam: al-Qur’ān dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap al-Qur’ān dianggap valid jika didasarkan pada argumen-argumen yang juga disuarakan oleh al-Qur’ān sendiri, ataupun didapatkan penjelasannya di dalam sunnah Rasul. Akibatnya, pengaruh perkembangan ilmu hadits ke dalam menentukan arah metode penafsiran yang dianggap valid terhadap al-Qur’ān menjadi sangat sentral. Tafsir sudah sejak lama menjadi bagian dari ilmu hadits, seperti Bukharī di dalam kitab Shahih-nya juga menyertakan bagian tersendiri tentang tafsīr. Atas pertimbangan ini pula tampaknya penilaian terhadap validitas makna yang diberikan kepada sebuah ayat al-Qur’ān kemudian sangat bergantung pada kesahihan riwayat yang membawanya. Di samping itu, beberapa elemen penafsiran seperti qirā’at, nuzul ayat, nasikh mansukh, Makkī dan Madanī, juga bertopang pada validitas riwayat hadits yang membawanya. Dengan membatasi tafsīr hanya untuk penjelasan yang berdasarkan makna yang diyakini menjadi makna yang dikehendaki oleh Allah sebagai Sang Pemilik Kalam di dalam al-Qur’ān, proses tafsīr digolongkan ke dalam metode i‘tibārī, yaitu dengan “membatasi makna dan menjadikannya terikat hanya dengan pemakaian makna itu.”[viii] Pembatasan makna yang bermuara pada dimensi teologis, dengan meyakini bahwa inilah makna sebenarnya yang dikehendaki Tuhan terhadap kalamnya kepada manusia, membuat tafsīr tidak mampu melampaui batas denotasi seperti yang tertuang dalam makna zhahir dari sebuah lafadh al-Qur’ān, mengingat pesan al-Qur’ān diperuntukkan untuk seluruh ummat manusia. Hanya makna zhahir saja yang mampu memberikan makna umum secara universal, lepas dari segala jenis konotasi dan makna-makna khusus yang bersifat lokal. Metode ini juga dasarnya meminimalisasi peran rasio dalam menentukan sebuah makna karena yang terjadi adalah pemberian makna melalui konsesi pemakaian bahasa yang berlaku secara umum. Walhasil, metode ijtihadi yang tampak dalam proses tafsīr, baik menyangkut prosedur penyandaran argumen, maupun kecenderungan untuk menutup kemungkinan lain pengambilan makna di luar konsesi zhahir, menjadi upaya yang memagari tafsīr dari peran dominan akal yang sejak awal Islam sudah diperingatkan tentang keburukannya. Pengalihan dari makna zhahir, misalnya, hanya dimungkinkan ketika terjadi kendala teologis akibat kesan tasybih yang mengarah pada gejala anthropomorfisme, sehingga diperlukan panafsiran metaforis yang keluar dari makna literalnya. Dalam hal ini, metode ta’wil didefinisikan oleh Maturidi sebagai “memilih salah satu makna dari berbagai alternatif arti yang dimungkinkan tanpa disertai pemberian kesaksian atas nama Allah.”[ix] Hanya saja kalangan yang menutup sama sekali dari penafsiran bi al-ra’yī juga menolak bentuk ta’wil yang merupakan interpretatsi metaforis dengan mengedepankan konsep tanzīh. Dengan begitu kesucian dan ketidakserupaan Allah dengan makhluknya bisa tetap terjaga. Bila kita meramu penjelasan-penjelasan yang mendasari penyempitan makna tafsīr, maka konsekuensi lanjutan yang bisa diraih adalah berlangsungnya proses standarisasi, ketika tafsir kemudian dipahami sebagai bentuk penafsiran yang bersifat formal dan umumnya mendapatkan pujian, sementara ta’wil sebaliknya merupakan bentuk penafsiran yang tidak formal dan umumnya mendapatkan kecaman. …
________________________________________
catatan akhir [i] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Kairo : Dār al-ma’ārif, tanpa tahun, vol. v, h.3412-13. [ii] Nash Hāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Nash, Kairo: Matba’ah al-hayāt al-misriyya li ‘ammat al-kitāb, 1993, h. [iii]Bentuk verbal safara bermakna: manyapu, mengangkat selubung, angin yang menyapu awan, wanita yang menyingkapkan penutup wajahnya, menemukan sesuatu, mendamaikan dua pihak yang bersengketa, atau juga menulis buku. Lihat E.W Lane, An Arabic English Lexicon, Cambridge: 1984, vol. i, 1370. [iv] QS.10:39. [v]Ada banyak variasi berkaitan dengan hal ini, seperti penggunaan kata ta’wil dalam surat Yusuf secara umum mengangkat makna “penjelasan atau tafsir mimpi”. QS 12:6, 21, 101 menyebut dengan istilah ta’wil al-ahādits, sementara QS 12:44 menyebutnya dengan ta’wil al-ahlām, sedangkan QS 12:100 menyebut ta’wīl al-ru’ya. Lihat Nashr Hāmid Abu Zayd, Mafhūm al-nash, Kairo: matba’ah al-hayāt al-mishriyya li ‘ammāt al-kitāb, 1993, h.287. [vi] Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Al-Itqān fi ulum al-Qur’ān, Kairo: Masyhad al-husayniyya, 1967, vol. iv, h.167. [vii] Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164. [viii]Naîr Hāmid Abū Zayd, Hakadhā Takallam Ibn Arabī, Kairo: al-Hai’ah al-misriyya al-amma li al-kitāb, 2002, h.139. [ix]Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164. Naskah lengkap tulisan ini berjudul “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur’an” yang dimuat dalam dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat vol.1, no.2 Desember 2004, halaman 1 – 18. Jurnal ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah.

0 komentar:

Posting Komentar

Dalam blog ini