Kamis, 24 Desember 2009

TRANSEKSUAL

Fenomena aneh kembali muncul. Dea atau Agus, pria kelahairan Batang Jawa tengah muncul di TVOne memberikan keterangnnya. Ia mantap mengambil keputusan operasi kelamin, dari pria tran ke wanita. Dari bentuk fisiknya, Agus memang tampak seperti perempuan alami, tidak seperti kebanyakan laki-laki yang terlalu memaksakan diri untuk tampil seperti perempuan. Kulit, mata, bibir, suara, dan berbagai organ fisik luar Agus memang benar-benar perempuan. Hanya alat kelaminnya saja yang memaksa memberikan status laki-laki pada Agus. Proses tawar menawar batin dalam diri Agus telah berproses begitu lama. Jenis kelamin laki-laki, tapi begitu banyak dari sisi lain Agus ini dominan ke perempuan, bahkan dalam kesehariannya Agus lebih merasa nyaman hidup sebgai perempuan.
Berdosakah…?
Fenomena alamiah seperti ini, patut disikapi dengan arif, utamanya bagi mereka para pemegang otoritas hukum Islam. Para santri yang berda di pondok-pondok pesantren, para cendikiawan muslim yang terkumpul dalam wadah Majlis Ulama Indonesia (MUI), dituntut untuk tidak prematur dalam memutuskan berbagai keputusannya. Pendekatan dari berbgai sisi perlu ditempuh. Psikologi, sosiologi, minimal dua sisi itu perlu digali oleh para pemegang otoritas kebijakkan hukum Islam, tidak sekedar melalui pendekatan landasan-landasan nash yang normatif.
Fiqih, oleh Abdul Wahab (1956) dalam kitabnya Ilmu Ushul al Fiqhi, didefinisikan “ Al ilmu bi al ahkaami as syar’iyyati al amaliyyati al muktasabi min adillaatiha at tafshiliyati”, ( Pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah/perbuatan yang digali dari sumber hukum yang bersifat terperinci), merupakan salah satu ilmu dalam Islam yang digunakan untuk menentukan sebuah hukum atas apapun yang dilakukan manusia. Kajiannya biasanya meliputi halal, haram, wajib, sunah, makruh, serta boleh (jawaz).
Dalam tataran prakteknya, fiqih kemudian tidak bisa berfungsi tanpa alat bantu dari perangkat ilmu-ilmu penopang lainnya, seperti ushul al fiqih, kaidah fiqih dan ilmu penunjang lainnya. Sebagaimana diceritakan – bahkan sudah melegenda di sebagian kalangan- Imam Syafi’i sendiri begitu lama malakukan riset, investegasi, dan mengadakan kajian yang mendalam tentang haid (menstruasi), ketika Imam syafi’i akan merumuskan tentang hukum-hukum yang terkait dengan haid itu. Hal ini beliau tempuh, supaya dalam keputusannya nanti tidak hanya sesuai dengan dalil-dalil normatif, melainkan sesuai juga dengan kondisi real dilapangan pada saat itu. Dalam keputusan fiqih, biasanya menggunakan generalisasi, maksudnya mengambil pada mayoritas yang terjadi dalam sebuah kumpulan masyarakat. Contohnya kalau dalam sebuah penilitian diambil sampel sepuluh orang perempuan, diuji berulang kali, dari berbagai tempat, sembilan orang dari mereka itu menjalani masa haid tujuh hari, maka diambil keputusan batas standar umum haid perempuan ialah tujuh hari.
Di sini bukan berarti yang satu dari mereka itu tidak ada hukum batas standarnya bukan? Karena, yang satu inipun harus ada hukumnya, karena ia juga sama ada sebagai realitas.
Dari sini, Dea atau Agus ada sebagai realitas. Kurang bijak kiranya ketika menyikapi Agus melalui pendekatan-pendekatan mayoritas, karena pada hakekatnya ia-pun sama seorang hamba Tuhan, hanya saja ketepatan ditakdirkan dalam kedaan tidak seperti mayoritas manusia pada umumnya. Benar, bahwa para ulama sepakat, syari’at adalah kebenaran mutlak ilhiyyah (Ketuhanan), yang tidak perlu ditakar dulu apakah sudah sesuai dengan akal atau tidak. Karena, terdapat banyak hal yang menunjukkan keterbatasan akal manusia. Tapi ini masalah fiqih, masalah keputusan hukum, masalah keputusan yang dihasilkan dari proses pergulatan akal manusia yang menggali dari dalil-dalil, dan melaui pendekatan-pendekatan dari berbagai piranti penunjang.
Rahmatan Lil ‘Alamiin
Nabi Muhammad, empat belas abad yang silam, benar-benar telah banyak memberikan teladan. Keputusan-keputusan nabi penuh dengan kearifan, kesantunan, dan humanitas. Tidak memihak sebuah golongan walau berhadapan dengan orang-orang kafir. Nabi selalu memposisikan hukum pada posisi yang tawasuth (tengah-tengah) walau di dalamnya berbaur berbagai golongan, etnis, bahkan lintas agama. Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, dan peletakkan Hajar Aswad yang sempat tergeser dari posisi semula, semua itu merupakan teladan yang real dari sosok nabi yang bisa memberikan rasa keadilan pada semua golongan, bahkan lintas agama. Hanya batu – atau yang lebih keras dari itu- sajalah yang menolak ajaran-ajaran sang nabi ini. Sudah saatnya kita kembali memperbaharui ingatan kita untuk mencontoh pada sang nabi ini. Menghadirkan agama bukan hanya sebagai penakut, yang meneror manusia dengan ancaman ganasnya api neraka, tapi memperkenalkan juga nilai-nilai kasih sayang Tuhan, yang selalu memberikan angin surga kedamaian dalam beragama. Islam hadir bukan hanya untuk golongan mayoritas, bukan pula hanya untuk orang Islam, tapi Islam hadir untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam tanpa batas.

Selasa, 15 Desember 2009

rindu ini terus mmenggrogoti kewarasanku
rindu ini terus mendera ketenangan jiwaku
rindu ini menggoyahkan konsentrasiku
rindu ini menyiksa relung-relung pojok hatiku
rindu ini membakar api cemburuku
rindu ini menggodaku untuk menuntut Tuhanku
rindu ini menduakan ingatanku, dzikirku
rindu ini koyakkan ketulusanku

rindu ini semangatkan jiwaku
rindu ini kobarkan jihadku melawan ke-akuan-ku
rindu ini tumbuhkan harapku
rindu ini ringankan beratku
rindu ini bangunkan tidurku
rindu ini sadarkan lamunanku
rindu ini hidupkan matiku
rindu ini dekatkan jauhku
rindu ini gagalkan semua yang mencoba hadir untuk mewakilinya, baik kata maupun pena

Ciputat, 04.00 WIb, 15 Desember 2009
Buatmu purnamaku.

Sabtu, 12 Desember 2009

sebegitu besarkah salahku...hingga kekecilan dan kebeliaanmu mampu campakkan ketuaan dan kelebih duluanku dalam satu sisi...?aku terpenjara karena mu...

Rabu, 09 Desember 2009

Aku Hanya...

Gejolak ini datang menyapaku kembali, rasa jiwaku dibuat teracak-acak, bergemuruh, harap-harap cemas kudibuatnya…. Pidato Prof. Quraish Shihab di Auditorium Utama UIN Jakarta 12 November 2009 saat itu itu – tentang betapa pentingnya pengaruh kemantapan hati- ikut menjustifikasi apa yang kurasa saat ini. Ku begitu menaruh hormat dan memuliakan rasa yang mulia seperti ini, rasa ini belum pernah kujual pada orang yang memang aku ga feel dengannya, rasa ini membuat acakku jadi rapi, hitamku jadi putih, buramku jadi jelas, raguku jadi sebuah kemantapan, takutku jadi berani dan jauhku jadi dekat.
Entah karena apa rasa tulusku untuknya masih terus tumbuh sampai saat ini. Apa karena dia masuk pada fakultas dan kampus yang bergengsi di Indonesia ini?, apa karena dia sekarang sedang menghafal al Qur’an? Apa karena dia terlalu manis saat senyumnya terrekam jelas oleh lensa matamu? Apa karena dia sesekali mencurahkan gejolak jiwanya saat dia butuh seseorang untuk bersandar?apa karena kamu pernah merasa gagah saat kamulah satu-satunya orang yang dipercaya untuk mengawalnya ke bandara Soekarno Hatta saat dia mau pulang ke negeri kelahirannya, setelah ribuan hari ia terpisah dari keluarganya? apakah karena ia memiliki geneologi keilmuan yang sama denganmu, Lirboyo…?atau karena atau-atau yang lain….??????
Cukup….cukup…cukup…
Jangan kau terus brondong aku dengan semua pertanyaa-pertanyaan tajammu itu…
Aku hanya orang yang sedang belajar jujur dengan perasaanku
Aku hanya orang yang sedang belajar takut mencintai sesuatu karena motif duniawi
Aku hanya orang yang sedang berjalan menuju ketenangan jiwa..
Aku hanya orang yang sedang berharap punya keturunan yang cerdas sholeh-shloleha..
Aku hanya orang yang ingin mendapatkan keindahan rasa ciptaan dzat yang maha indah..

Minggu, 06 Desember 2009

Penyimpangan dalam Tafsir

Penyimpangan dalam Tafsir
06/12/2009
Oleh: M.Anwar Sarrifudin
Dosen FU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengantar

Judul pertemuan ini sebenarnya agak provokatif, karena kata “penyimpangan” mengandaikan kita sebagai pembaca sekaligus juri yang memiliki otoritas untuk menetapkan sebagian tafsir sebagai “yang benar” dan sebagian yang lain “salah”. Posisi yang agak “memihak” ini agaknya didasarkan pada kenyataan bahwa faham keagamaan yang diikuti kelompok mayoritas, dalam hal ini kelompok “ahlus sunnah” diposisikan sebagai pemegang otoritas “kebenaran” atas nama jumhurul ulama, mayoritas ulama yang memiliki kesamaan pendapat. Di sinilah jumhur diberikan hak untuk menetapkan prinsip-prinsip standar yang menjadi ukuran “ortodoksi”. Akibatnya, padangan yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh jumhur dianggap sebagai bentuk “penyimpangan”.

Oleh karena itu, sumber bacaan untuk pembahasan ini, al-Ittijahat al-munharifa fi tafsir al-Qur’an karya Muhammad Hussein al-Dzahabi, hendaknya dibaca sebagai sebuah karya yang berisi analisis model terhadap metode/hasil penafsiran yang menyimpang dilihat dari perspektif sunni. Perspektif ini relevan mengingat faham keagamaan ahlu sunnah diposisikan sebagai faham keagamaan resmi yang dianut sebagian besar kaum muslimin Indonesia yang juga merepresentasi faham keagamaan resmi yang diakui oleh pemerintah.

Sebuah sumber bacaan online yang merupakan bentuk saduran dari karya M.H. Adz-Dzahabi (mungkin dari edisi yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) dapat dilihat dalam link berikut,

http://mangzaka.blogspot.com/2009/02/penyimpangan-penyimpangan-dalam.html

Sedikit catatan dalam mengakses sumber di atas, saya katakan “saduran” karena tulisan tersebut tidak menyertakan analisis penulisnya sendiri, hanya menulis ulang atau mungkin menyarikan dari sumber aslinya. Ketika penulisnya bahkan tidak mencantumkan sumber rujukan asli, maka hal tersebut sebenarnya dapat dikategorikan sebagai bentuk “plagiarisme” atau upaya menjiplak yang dilarang dalam dunia akademik, karena seolah-olah menuliskannya atas nama dirinya sendiri, padahal itu adalah hasil karya orang lain. Oleh karena itu, mohon untuk tidak dicontoh, apalagi dirujuk sebagai sumber bacaan untuk tulisan yang ingin anda buat. Untuk merujuk sebagai sumber bacaan, maka harus melihat kepada buku asli karya M.H. Adz-Dzahabi, baik dalam edisi bahasa Arab, maupun edisi terjemahan bahasa Indonesia.

Jumat, 04 Desember 2009

Tafsīr dan Ta’wīl: Analisis Lughawi

Tafsīr dan Ta’wīl: Analisis Lughawi

Kata Arab tafsīr, diambil dari bentuk dasar f-s-r dan bentuk sungsangnya s-f-r. Bentuk dasar pertama dipakai untuk makna “menjelaskan”. Bentukan kata bendanya, al-fasr, berarti “penjelasan” yang kadang juga dirujuk sebagai “observasi dokter melalui medium air”.[i] Dari beberapa pemakaian kata di atas, jelas bahwa penggunaan kata tafsīr dengan merujuk bentuk dasar f-s-r mensyaratkan dipakainya sebuah medium dalam menjalankan proses penafsiran, sehingga kata Arab tafsira, misalnya, didefinisikan sebagai “aktivitas mencari tahu penyebab sebuah penyakit”. Akan tetapi, ada dua syarat yang diperlukan untuk menandai validitas pemakaian makna ini, yaitu: adanya objek yang berupa tafsira sendiri dan akivitas observasi atau analisis. Dua syarat ini penting, seperti diungkapkan Nasr Abu Zayd di dalam Mafhūm al-Nash, mengingat seorang dokter tidak akan begitu saja sampai kepada sebuah diagnosis yang mendekati kebenaran jika ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup berdasarkan penelitiannya terhadap objek tafsira tadi.[ii] Sementara itu bentukan dasar kedua melalui bentuk sungsang s-f-r membentuk makna “aktivitas transformatif”[iii] yang bisa dikaitkan dengan tradisi hermetik dalam hubungan transfer pengetahuan melalui wahyu atau aktivitas menjelaskan makna wahyu. Penggunaan makna pertama sangat jelas pada pemakaian kata safīr yang berarti rasul, atau malaikat yang membawakan wahyu kepada para Nabi atas izin Tuhan. Makna ini bisa diterapkan pada QS 80:15, “biaydiy safarah kirāmin bararah (di tangan para malaikat yang mulia dan penuh kebajikan…). signifikansi kedua tampak jelas pada penggunaan kata sifr yang berarti kitab/buku. Asal usul kata sāfir dipakai untuk menunjuk kepada “penulis” (kātib), karena fungsi seorang penulis adalah menerangkan sesuatu dan membuatnya menjadi jelas. Atas dasar ini, kata kitāb bermakna aktivitas menjelaskan apa yang tersembunyi di hati dan melepaskannya dari keterpenjaraan hati. Akan halnya kata Arab ta‘wīl dirujuk dari bentuk dasar a-w-l yang bermakna kembali. Pemakaian kata ini dalam al-Qur’ān menunjuk ke arah aktifitas memberikan penjelasan, seperti juga dipakai untuk kata tafsir.[iv] Berbeda dengan kata tafsir yang dipakai hanya sekali di dalam al-Qur’ān, kata ini ditemukan di 17 tempat di dalam al-Qur’ān, yang bila ditilik melalui peradaban Arab pada masanya, kata ini sangat erat hubungannya dengan tradisi penafsiran mimpi, yang darinya seseorang dapat menarik pelajaran.[v] Berbeda dengan aktivitas tafsir yang mutlak mensyaratkan medium sebagai unsur utama dalam proses penafsiran, penggunaan kata ini tidak mutlak mensyaratkan hal yang sama, karena ta’wil bisa didapatkan tanpa medium sama sekali, seperti diisyaratkan oleh QS 18:78 dan 82, di mana penjelasan Khidr atas perbuatannya bukan didasarkan pada cakrawala pandangan secara umum, sebagaimana juga Musa memprotesnya, tetapi didapatkan melalui pengetahuan Tuhan yang diterimanya, Khidr menjelaskan pembenaran atas tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Essensi yang bisa kita tarik dari analis bahasa terhadap kata tafsīr dan ta’wīl di atas adalah adanya sebuah petunjuk yang jelas bahwa dua kata ini sama-sama dipakai untuk aktivitas yang berkaitan dengan “penjelasan atas Kalamullah” (bayān kalāmillāh). Lepas dari persoalan apakah hal ini termasuk kategori ilmu khusus ataukah hanya sebuah istilah biasa yang berlaku universal, kedua kata ini sejak masa awal Islam sudah dipakai untuk nama judul karya yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur’ān secara umum, tanpa merinci metode yang dipakai oleh penyusunnya. Al- Farrā’ (w.822), misalnya, menamakan kitabnya yang mengupas pemahaman linguistik terhadap al-Qur’ān dengan judul Ma‘ānī al-Qur’ān, sementara pengikut Sahl al-Tustarī memberi nama Tafsir al-Qur’ān al-Azhim untuk tafsir Sufi yang disusunnya, sedangkan Ibn Jarīr al-Tabarī menamakan kitab tafsirnya dengan sebutan Jamī‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl āyy al-Qur’ān. Tiga karya tafsir ini mewakili tiga metode penafsiran yang berbeda: al-Farrā’ dengan cara al-dirāya/ra’yi, Sahl al-Tustarī dengan cara isyārī, dan Tabarī dengan al-riwāya. Walhasil, ketiganya merupakan bagian dari apa yang dianggap sebagai karakteristik umum tafsir, memberikan penjelasan terhadap Kalamullah. Tidak heran bila kemudian beberapa ulama seperti Ibn ‘Ubayd menyatakan bahwa pada masa itu tafsir dan ta’wil memang memiliki kesamaan makna.[vi]
Penyempitan Makna dan Standardisasi Konsep
Persoalan yang mengemuka, seperti dapat kita lihat dalam komentar al-Wahidi terhadap penafsiran sufistik Abu Abd al-Rahman al-Sulami adalah apakah istilah tafsir pada masa hidup al-Wahidi telah mengalami penyempitan makna, sehingga penggunaan metode isyari, seperti yang dilakukan oleh kalangan sufi dalam memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’ān tidak lagi bisa dikatakan sebagai upaya menjalankan tafsīr? Konsep penyempitan makna terhadap istilah tafsir sebenarnya telah dirintis sejak lama, ketika al-Maturidi (w.333/944) mendefinisikan istilah tersebut dengan “memberikan kepastian bahwa makna sebuah kalimat adalah demikian dengan serta memberi persaksian (syahādah) atas nama Allah bahwa Ia menghendaki maknanya seperti itu.” Makna yang dikehendaki oleh Allah ini, dalam pandangan Maturidi, harus didukung dengan dalil yang kuat agar bisa dianggap valid, bila tidak maka termasuk kategori “penafsiran rasional” (tafsīr bi al-ra’yi) yang tercela.[vii] Sampai di sini jelaslah kiranya kalau al-Māturīdī memasukkan tafsīr ke dalam proses ijtihadi, di mana pengambilan makna yang menjadi penjelasan terhadap ayat al-Qur’ān harus disertai dengan argumen yang meyakinkan. Sejalan dengan penolakan terhadap metode tafsīr bi al-ra’yi sejak masa awal Islam, maka argumen yang dipakai untuk melandasi pengambilan makna tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur’ān juga mesti disandarkan pada argumentasi naqli di mana peranan akal direduksi sampai pada taraf minimal, bahkan tidak ada sama sekali karena yang menentukan validitasnya bukan semata-mata pada sahihnya argumentasi itu menurut penalaran logika, tetapi tergantung pada kuat dan banyaknya rangkaian perawi yang bersetuju. Ini dimungkinkan baik dengan mengambil argumen yang bernilai penjelasan yang berada dalam bahagian lain dari al-Qur’ān sendiri, yang diyakini diriwayatkan secara mutawatir, sehingga tidak perlu diingkari kesahihannya, atau dengan mengutip hadits yang semakin sahih bila diriwayatkan banyak perawi yang kuat, tsiqa. Mengkonsepsi tafsir seperti diungkap oleh al-Māturidi di atas mengarah pada justifikasi penafsiran melalui pendekatan skriptural, terutama menyangkut sumber utama hukum Islam: al-Qur’ān dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap al-Qur’ān dianggap valid jika didasarkan pada argumen-argumen yang juga disuarakan oleh al-Qur’ān sendiri, ataupun didapatkan penjelasannya di dalam sunnah Rasul. Akibatnya, pengaruh perkembangan ilmu hadits ke dalam menentukan arah metode penafsiran yang dianggap valid terhadap al-Qur’ān menjadi sangat sentral. Tafsir sudah sejak lama menjadi bagian dari ilmu hadits, seperti Bukharī di dalam kitab Shahih-nya juga menyertakan bagian tersendiri tentang tafsīr. Atas pertimbangan ini pula tampaknya penilaian terhadap validitas makna yang diberikan kepada sebuah ayat al-Qur’ān kemudian sangat bergantung pada kesahihan riwayat yang membawanya. Di samping itu, beberapa elemen penafsiran seperti qirā’at, nuzul ayat, nasikh mansukh, Makkī dan Madanī, juga bertopang pada validitas riwayat hadits yang membawanya. Dengan membatasi tafsīr hanya untuk penjelasan yang berdasarkan makna yang diyakini menjadi makna yang dikehendaki oleh Allah sebagai Sang Pemilik Kalam di dalam al-Qur’ān, proses tafsīr digolongkan ke dalam metode i‘tibārī, yaitu dengan “membatasi makna dan menjadikannya terikat hanya dengan pemakaian makna itu.”[viii] Pembatasan makna yang bermuara pada dimensi teologis, dengan meyakini bahwa inilah makna sebenarnya yang dikehendaki Tuhan terhadap kalamnya kepada manusia, membuat tafsīr tidak mampu melampaui batas denotasi seperti yang tertuang dalam makna zhahir dari sebuah lafadh al-Qur’ān, mengingat pesan al-Qur’ān diperuntukkan untuk seluruh ummat manusia. Hanya makna zhahir saja yang mampu memberikan makna umum secara universal, lepas dari segala jenis konotasi dan makna-makna khusus yang bersifat lokal. Metode ini juga dasarnya meminimalisasi peran rasio dalam menentukan sebuah makna karena yang terjadi adalah pemberian makna melalui konsesi pemakaian bahasa yang berlaku secara umum. Walhasil, metode ijtihadi yang tampak dalam proses tafsīr, baik menyangkut prosedur penyandaran argumen, maupun kecenderungan untuk menutup kemungkinan lain pengambilan makna di luar konsesi zhahir, menjadi upaya yang memagari tafsīr dari peran dominan akal yang sejak awal Islam sudah diperingatkan tentang keburukannya. Pengalihan dari makna zhahir, misalnya, hanya dimungkinkan ketika terjadi kendala teologis akibat kesan tasybih yang mengarah pada gejala anthropomorfisme, sehingga diperlukan panafsiran metaforis yang keluar dari makna literalnya. Dalam hal ini, metode ta’wil didefinisikan oleh Maturidi sebagai “memilih salah satu makna dari berbagai alternatif arti yang dimungkinkan tanpa disertai pemberian kesaksian atas nama Allah.”[ix] Hanya saja kalangan yang menutup sama sekali dari penafsiran bi al-ra’yī juga menolak bentuk ta’wil yang merupakan interpretatsi metaforis dengan mengedepankan konsep tanzīh. Dengan begitu kesucian dan ketidakserupaan Allah dengan makhluknya bisa tetap terjaga. Bila kita meramu penjelasan-penjelasan yang mendasari penyempitan makna tafsīr, maka konsekuensi lanjutan yang bisa diraih adalah berlangsungnya proses standarisasi, ketika tafsir kemudian dipahami sebagai bentuk penafsiran yang bersifat formal dan umumnya mendapatkan pujian, sementara ta’wil sebaliknya merupakan bentuk penafsiran yang tidak formal dan umumnya mendapatkan kecaman. …
________________________________________
catatan akhir [i] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Kairo : Dār al-ma’ārif, tanpa tahun, vol. v, h.3412-13. [ii] Nash Hāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Nash, Kairo: Matba’ah al-hayāt al-misriyya li ‘ammat al-kitāb, 1993, h. [iii]Bentuk verbal safara bermakna: manyapu, mengangkat selubung, angin yang menyapu awan, wanita yang menyingkapkan penutup wajahnya, menemukan sesuatu, mendamaikan dua pihak yang bersengketa, atau juga menulis buku. Lihat E.W Lane, An Arabic English Lexicon, Cambridge: 1984, vol. i, 1370. [iv] QS.10:39. [v]Ada banyak variasi berkaitan dengan hal ini, seperti penggunaan kata ta’wil dalam surat Yusuf secara umum mengangkat makna “penjelasan atau tafsir mimpi”. QS 12:6, 21, 101 menyebut dengan istilah ta’wil al-ahādits, sementara QS 12:44 menyebutnya dengan ta’wil al-ahlām, sedangkan QS 12:100 menyebut ta’wīl al-ru’ya. Lihat Nashr Hāmid Abu Zayd, Mafhūm al-nash, Kairo: matba’ah al-hayāt al-mishriyya li ‘ammāt al-kitāb, 1993, h.287. [vi] Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Al-Itqān fi ulum al-Qur’ān, Kairo: Masyhad al-husayniyya, 1967, vol. iv, h.167. [vii] Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164. [viii]Naîr Hāmid Abū Zayd, Hakadhā Takallam Ibn Arabī, Kairo: al-Hai’ah al-misriyya al-amma li al-kitāb, 2002, h.139. [ix]Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān al-Suyūthī, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān, Cairo: Maktaba wa matba’a al-Masyhad al-Husayni, 1967, vol. iv, 164. Naskah lengkap tulisan ini berjudul “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan al-Qur’an” yang dimuat dalam dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat vol.1, no.2 Desember 2004, halaman 1 – 18. Jurnal ini dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Palangka Raya Kalimantan Tengah.

Kamis, 03 Desember 2009

siang itu kumenyusuri jalan pesanggrahan, sebuah jalan kecil samping kampus UIN Jakarta...ratusan mmahasiswa bahkan ribuan sedang berlalu lalang disana, sementara para pedagang ramai dan sibuk dengan garapan proyek dunia mereka...
semenatara saya terus menyusuri jalan itu dengan pakaian khas saya, sarung dan kemeja...tidak ada satupun diarea sekitar orang yang pakai sarung, karena disitu memeang bukan masjid bukan pula lingkungan pesantrren. Bukan, bukan berarti saya pengin mendemmonstrasikan diri bahwa inilah saya santri...tidak itu maksudku..tapi disamping saya memang nyaman dengan pakaian itu, saya juga ingin menguji diri sendiri bahwa saya akan tetap PD dengan langkah apa yang saya ambil walau jutaan manusia yang lain mentertawakan diriku, saya hanya ingin menguji diri sendiri sejauh mana saya mempertahankan kesayaan saya, karena saya yakin bahwa saya adalah saya sendiri yang mempunyai identitas sendiri....
saat itu, sore 12 Desember 2009.
kuterbangun kembali dari tidur panjangku
merunduk, terbalut malu, kau lemparkan senyum manismu
ditemani semankok ayam steak dan segelas juice alpokat
kau temani jiwa ragaku yang telah lama tertidur...
kelembutanmu, Qur'animu, kecerdasanmu, kesederhanaanmu..
mungkin itu yang membuat hatiku terbuka setelah sekian lama terkunci
عندي انت كا لبدر.....

Rabu, 21 Oktober 2009

Ke-ELOK-kan Islam

El-Fatih Imaduddin 11 Oktober jam

"Wa maa arsalnaaka illa rohmatan lil 'alamin",
tidaklah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai (kasih sayang Aku) kepada seluruh alam.

Dalam ayat tersebut, terungkap, motif pengutusan Rasulullah saw ke dunia ini sebagai manifestasi kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah mengutus Muhammad ke dunia ini karena Dia amat sayang kepada makhluk-Nya. Rasulullah saw datang ke dunia ini membawa tuntunan Ilahi, supaya menjadi pedoman manusia dan jin untuk mencapai ridho-Nya di dunia dan akhirat, sesuai dengan tujuan penciptaan mereka. "Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah (menyembah) kepada-Ku", demikian firman Allah.

Artinya, segala macam tuntunan Allah, baik berhubungan dengan keyakinan kepada Allah (akidah), tekhnis penyembahan kepada Allah dan tekhnis berhubungan dengan sesama (syari'at), maupun tekhnis pengelolaan batin agar senantiasa tertuju kepada Allah (ihsan) , yang disampaikan Nabi Muhammad merupakan wujud kasih sayang Allah pada mereka. Hukum-hukum syari'at diturunkan, manfaatnya bukan untuk Allah, tetapi untuk manusia sendiri. Pasalnya Allah tidak butuh hamba-hamba-Nya, tetapi hamba-hambalah yang butuh kepada-Nya.

Allah memerintahkan hamba melakukan sesuatu atau melarang sesuatu adalah karena Dia sayang kepada hamba-Nya. Persis (ini hanya pelogikaan, karena Allah tidak sama dengan makhluk-Nya) seperti perintah dan larangan orangtua kepada anaknya. Perintah dan larangan Allah, bila kita pahami sebagai perintah atau larangan, bukan kita pahami sebagai ekspresi kasih sayang Allah kepada kita, maka kita tidak ada bedanya dengan anak kecil yang memahami perintah dan larangan orangtua sebagai bentuk pengekangan dan pemenjaraan kebebasan dirinya. hal ini berarti cara berpikir kita masih kanak-anak, masih bodoh.

Allah tidak pernah memerintah kita atau melarang kita, karena Dia telah berfirman "kebenaran datangnya dari Tuhanmu, apabila mau silahkan kufur dan apabila mau silahkan iman". Allah tidak memerintah dan melarang kita, tetapi Allah sayang kepada kita sebagai hamba-hamba-Nya. Wujud kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah Dia tidak ingin hamba-hamba-Nya hancur/rusak/sesat, karena itulah Dia mengutus kekasih-Nya, Muhammad saw, kepada seluruh alam untuk menunjukkan mereka ke jalan yang benar. sebab jika diperhatikan dan diteliti secara mendalam dengan menggunakan pikiran jernih tanpa ada unsur hawa nafsu, setiap larangan pasti mengandung dampak negatif bagi manusia. Seperti larangan membuka aurat bagi wanita, misalnya, yakni agar mereka terhindar dari pandangan-pandangan liar dan pelecehan seksual yang ujung-ujung menggiring pada perzinahan dan perkosaan.

Dengan kita memahami perintah dan larangan Allah sebagai wujud kasih sayang-Nya kepada kita, maka kita dapat melaksanakan perintah atau menjauhi larangan Allah dengan perasaan cinta (mahabbah). Dari sinilah akan tibul keikhlasan dalam menyembah Allah. Logikanya, Allah menyayangi dan mencintai kita maka harus kita balas dengan cinta dan sayang pula. Rabi'ah al-'Adawiyah dalam salah satu munajatnya berkata "Ya Robb, bila aku beribadah kepada-Mu mengharapkan surga-Mu, lemparkan aku jauh-jauh dari surgamu. Dan jika aku beribadah kepada-Mu karena takut siksa-Mu, masukkan aku dalam-dalam ke neraka-Mu. Aku tidak mengharapkan apapun dari-Mu selain cinta-Mu". Inilah esensi cinta...

Kamis, 15 Oktober 2009

Rapuhnya NU Berbasis Langgar Doyong

Indonesia dan Keberagaman Budaya?

Sejarah telah merekam bahwa tumbuh kembangnya Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Indonesia sebuah Negara kepulauan, dan terbentuk atas ribuan atau bahkan jutaan desa-desa kecil, sangat pantas juga ketika disebutkan dengan kalimat Indonesia is a big Village.Tak bisa terbantahkan bahwa inilah Indonesia yang didalamnya terbangun atas kaum mayoritas - gabungan masyarakat pedesaan-, dan kaum minoritas – sekelompok kecil masyarakat perkotaan-.
Keberagaman adat, watak yang khas, dan ritus-ritus lokal, sebuah fenomena yang tak bisa dihindari lagi. Sehingga Islam sendiri walaupun induknya sama mengkrucut pada Qur’an dan hadits, namun keislaman di Indonesia sarat dan kental sekali dengan nuansa percampuran budaya lokal. Kenyataan seperti ini sangat dimengerti oleh mereka para pembawa Islam yang konon menurut sejarah dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, Persia, Yaman dan lain-lain. Wali songo istilah bagi penyebar Islam ditanah jawa yang berjumlah sembilan (songo) menerapkan sistem dakwahnya dengan melebur dan berasimilasi dengan adat-adat lokal, tentunya dengan integritas keilmuan, dan keislaman mereka yang tinggi, wali songo tahu dan faham betul mana yang bisa ditolerir untuk dileburkan antara akidah dan budaya, dan mana yang sifatnya prinsip ideologis yang sama sekali tidak boleh ditawar untuk dileburkan dengan unsur budaya. Sulit terbantahkan bahwa wali songo memang telah punya andil besar dalam usaha penyebaran & penegakan Islam dipulau jawa pada saat itu. Selanjutnya pada era mrid-murid mereka Islam gaya wali songo terus mengepakkan sayapnya dihampir seluruh belahan nusantara. Dengan kalimat yang tidak berlebihan layaklah wali songo juga disebut penyebar Islam dinusantara ini -tidak hanya di pulau jawa-.

Indonesia dan Pesantren
Dengan kuantitas yang mendominasi, angka 90 -koma sekian persen- telah menghantarkan klaim bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan 200 juta jiwa lebih penduduk Indonesia beridentitaskan Islam. Sebuah jumlah angka yang sebenarnya tidak dihasilkan dari abrah kedabrah atau bim salabim layaknya pesulap diatas panggung. Prestasi ini diraih melalui proses panjang, perjuangan, ketidak pamrihan, dan jerih payah para ulama militan dalam rentang waktu yang relatif lama dan berliku.

Proses belajar mengajar – atau kalau pengin dibilang mentereng- proses transfer nalar intelektual dan sepiritual sebenarnya sudah berlangsung lama jauh hari sebelum belanda mendarat mendzolimi bangsa ini. Dari suarau-surau kecil dipedesaan proses belajar mengajar(baca: pengajian) terus berlangsung. Pelan, perlahan, namun gerakan ini konkrit dan membuahkan hasil yang nyata. Islam terus berkembang dan mengakar sampai pada tataran grass root (lapisan bawah). Semangat, kepedulian bahkan fanatisme masyarakat nusantara terhadap Islam semaikn meningkat. Dari sinilah lompatan demi lompatan terus terjadi, sehingga suarau-suarau kecil atau bisa disebut langgar-langgar doyong berkembang melahirkan bilik-bilik (kamar-kamar). Dari sinilah cikal bakal pesantren terlahir. Dari sistem yang sanagt tradisional, klasikal hingga terus berkembang dengan berbagai multiragam macam pesantren. Keluaran dari pesantren-pesantren inilah yang kedepan meneruskan estafet perjuangan para ulama terdahulu di Indonesia. Pesantren telah dan masih menjadi agen peubahan peradaban dari Jahiliyah Indonesiais menuju peradaban Islam. Pesantren telah menyumbangkan fakta sejarah mencetak kader-kader muslim jauh hari bahkan jauh tahun sebelum peguruan tinggi maupun universitas menjamur bertebaran di nusantara ini.

Pada tahun 1926M dengan dilokomotofi Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari komunitas kaum pesantrten membidani lahirnya sebuah wadah jam’iyyah diniyyah yang kemudian diberi nama Nahdlotul Ulama(NU). Kaum santri bisa bergabung dengan NU ini untuk bisa lebih tertata dan terorganisir berbagai macam kegiatannya. Dari sinilah titik awal korelasi erat antara pesantren dan NU, antra para kyai, santri dan NU. Dalam tinjauan lebih luas dari sinilah hubungan erat antara pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tradisional yang membumi di Indonesia dengan Indonesia sebagai Negara.

Bobolnya Gawang Pertahanan
Globalisasi dan modernisme yang menggiring pada pola hedonisme dan pragmatisme disadari atau tidak berpengaruh pula pada pergeseran pola piker generasi NU. Jargon andalan Al muhafadhotu ‘ala qodiimi as shoolih wal akhdzu bil jadiid al aslhah sering bias dalam tataran perakteknya. Para kader muda NU sering kurang percaya diri dengan apa yang ada dalam khazanah NU. Lompat sana-lompat sini, dan glombang melompat ini terus mengalir pada pos-pos asing yang mungkin dianggap menawarkan iming-iming yang lebih menjanjikan. Dari sini babak kroposnya pertahanan berbasis langgar doyong semakin akut...padahal disanalah tulang punggung NU berada...
Robbii...Anzilnii..Munzalan Mubaarokaa..wa Anta Khoirul Munziliin..


*. Penulis adalah Lulusan Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadi’ien Lirboyo Kediri2008, dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin&Filsafat Jurusan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Minggu, 11 Oktober 2009

Pengertian Manhaj Salaf dan Ittiba’

Golongan Wahabi, yang belakangan mengganti nama menjadi Salafiyah (golongan pengikut Salaf), telah membajak kata salaf. Makna Salaf di tangan mereka dicederai, dikerangkeng pada permasalagan furu’iyyah dan perdebatan-perdebatan lama ulama klasik. Baik di bidang fiqh, ilmu kalam, maupun tasawuf. Dalam bidang fiqh, mereka lebih konsen membid’ah-bid’ahkan tradisi maulid nabi, ziarah dan sejenisnya; mensyirik-syirikkan tawassul, istighotsah, dan puji-pujian kepada rasul dan sejenisnya. Dalam ilmu kalam, alih-alih menanamkan hakikat makna tauhid, mereka justru mendebatkan kembali tentang, misalnya, asma wa shifat dan bahayanya menakwil ayat-ayat mutasyabihat dengan talwil yang sesuai dengan keagungan Allah dan lain-lain. Mereka akan menyesatkan siapapun yang tidak sejalan dengan alur pemikiran mereka.

Dr. Said Romadhon Al-Buthi mengatakan, menisbatkan diri kepada salaf melalui pemakaian istilah ”Salafiyah”, untuk menyatakan diri sebagai golongan yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan dan berdiri sendiri di luar jama’ah umat Islam adalah bentuk pemisahan diri dari jama’ah. Memisahkan diri dari jama’ah adalah bid’ah karena merupakan bentuk fanatisme.

Salaf berasal daru kata salafa yang berarti dahulu. Secara etimologis, kata salaf sepadan dengan kata qoblu yang artinya segala sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah kholaf. Kata salaf kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam. Yakni tiga generasi pertama Islam: sahabat, tabi’in dan tabi’-tabi’in. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw.:

”Sebaik-baik ummatku adalah pada kurunku, kemudian kurun setelahnya, kemudian kurun setelahnya” (HR. Bukhori-Muslim)

Perintah mengikuti salaf disebutkan dalam Al-Quran dan beberapa hadis shohih, yaitu:

a. Perintah mengikuti sahabat:
” Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasaniya itu. Dan Kami masukkan dia ke dalam neraka jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa: 115)

Ayat ini menjadi dasar penting tentang kewajiban kita dalam memahami Alquran dan Sunnah harus sesuai dengan metodologi dan pemahaman orang-orang mukmin. Ayat ini menjadi landasan atas kesekapakatan (ijma’) ulama (kecuali menurut pendapat sebagian ahli bi’ah) bahwasanya ijma sahabat bisa dijadikan hujjah.

”Rasulullah saw. bersabda: ’Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan,. Umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Sedang umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat dari 73 itu golongan itu hanya 1, sementara lainnya celaka. Ditanyakan kepada Beliau: ’siapakah golongan yang selamat itu?’ Rasulullah saw menjawab: Orang-orang yang mengikuti aku dan sahabat-sahabatku” (HR. Turmudzi)

”berpegang-teguhlah kamu semua kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrosyidin yang mendapatkan petunjuk” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)

b. Perintah mengikuti tabi’in dan tabi’-tabi’in
”Sebaik-baik ummatku adalah pada kurunku, kemudian kurun setelahnya, kemudian kurun setelahnya” (HR. Bukhori-Muslim)


Di Tulis oleh El Fatih Imaduddin, dipostingkan Muslih Fathoni Hp.085743612845

Kamis, 08 Oktober 2009

Rapuhnya NU Berbasis Langgar Doyong


RAPUHNYA NU BERBASIS LANGGAR DOYONG


Indonesia dan Keberagaman Budaya?

Sejarah telah merekam bahwa tumbuh kembangnya Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Indonesia sebuah Negara kepulauan, dan terbentuk atas ribuan atau bahkan jutaan desa-desa kecil, sangat pantas juga ketika disebutkan dengan kalimat Indonesia is a big Village.Tak bisa terbantahkan bahwa inilah Indonesia yang didalamnya terbangun atas kaum mayoritas - gabungan masyarakat pedesaan-, dan kaum minoritas – sekelompok kecil masyarakat perkotaan-.
Keberagaman adat, watak yang khas, dan ritus-ritus lokal, sebuah fenomena yang tak bisa dihindari lagi. Sehingga Islam sendiri walaupun induknya sama mengkrucut pada Qur’an dan hadits, namun keislaman di Indonesia sarat dan kental sekali dengan nuansa percampuran budaya lokal. Kenyataan seperti ini sangat dimengerti oleh mereka para pembawa Islam yang konon menurut sejarah dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, Persia, Yaman dan lain-lain. Wali songo istilah bagi penyebar Islam ditanah jawa yang berjumlah sembilan (songo) menerapkan sistem dakwahnya dengan melebur dan berasimilasi dengan adat-adat lokal, tentunya dengan integritas keilmuan, dan keislaman mereka yang tinggi, wali songo tahu dan faham betul mana yang bisa ditolerir untuk dileburkan antara akidah dan budaya, dan mana yang sifatnya prinsip ideologis yang sama sekali tidak boleh ditawar untuk dileburkan dengan unsur budaya. Sulit terbantahkan bahwa wali songo memang telah punya andil besar dalam usaha penyebaran & penegakan Islam dipulau jawa pada saat itu. Selanjutnya pada era mrid-murid mereka Islam gaya wali songo terus mengepakkan sayapnya dihampir seluruh belahan nusantara. Dengan kalimat yang tidak berlebihan layaklah wali songo juga disebut penyebar Islam dinusantara ini -tidak hanya di pulau jawa-.

Indonesia dan Pesantren
Dengan kuantitas yang mendominasi, angka 90 -koma sekian persen- telah menghantarkan klaim bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan 200 juta jiwa lebih penduduk Indonesia beridentitaskan Islam. Sebuah jumlah angka yang sebenarnya tidak dihasilkan dari abrah kedabrah atau bim salabim layaknya pesulap diatas panggung. Prestasi ini diraih melalui proses panjang, perjuangan, ketidak pamrihan, dan jerih payah para ulama militan dalam rentang waktu yang relatif lama dan berliku.

Proses belajar mengajar – atau kalau pengin dibilang mentereng- proses transfer nalar intelektual dan sepiritual sebenarnya sudah berlangsung lama jauh hari sebelum belanda mendarat mendzolimi bangsa ini. Dari suarau-surau kecil dipedesaan proses belajar mengajar(baca: pengajian) terus berlangsung. Pelan, perlahan, namun gerakan ini konkrit dan membuahkan hasil yang nyata. Islam terus berkembang dan mengakar sampai pada tataran grass root (lapisan bawah). Semangat, kepedulian bahkan fanatisme masyarakat nusantara terhadap Islam semaikn meningkat. Dari sinilah lompatan demi lompatan terus terjadi, sehingga suarau-suarau kecil atau bisa disebut langgar-langgar doyong berkembang melahirkan bilik-bilik (kamar-kamar). Dari sinilah cikal bakal pesantren terlahir. Dari sistem yang sanagt tradisional, klasikal hingga terus berkembang dengan berbagai multiragam macam pesantren. Keluaran dari pesantren-pesantren inilah yang kedepan meneruskan estafet perjuangan para ulama terdahulu di Indonesia. Pesantren telah dan masih menjadi agen peubahan peradaban dari Jahiliyah Indonesiais menuju peradaban Islam. Pesantren telah menyumbangkan fakta sejarah mencetak kader-kader muslim jauh hari bahkan jauh tahun sebelum peguruan tinggi maupun universitas menjamur bertebaran di nusantara ini.

Pada tahun 1926M dengan dilokomotofi Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari komunitas kaum pesantrten membidani lahirnya sebuah wadah jam’iyyah diniyyah yang kemudian diberi nama Nahdlotul Ulama(NU). Kaum santri bisa bergabung dengan NU ini untuk bisa lebih tertata dan terorganisir berbagai macam kegiatannya. Dari sinilah titik awal korelasi erat antara pesantren dan NU, antra para kyai, santri dan NU. Dalam tinjauan lebih luas dari sinilah hubungan erat antara pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tradisional yang membumi di Indonesia dengan Indonesia sebagai Negara.

Bobolnya Gawang Pertahanan
Globalisasi dan modernisme yang menggiring pada pola hedonisme dan pragmatisme disadari atau tidak berpengaruh pula pada pergeseran pola piker generasi NU. Jargon andalan Al muhafadhotu ‘ala qodiimi as shoolih wal akhdzu bil jadiid al aslhah sering bias dalam tataran perakteknya. Para kader muda NU sering kurang percaya diri dengan apa yang ada dalam khazanah NU. Lompat sana-lompat sini, dan glombang melompat ini terus mengalir pada pos-pos asing yang mungkin dianggap menawarkan iming-iming yang lebih menjanjikan. Dari sini babak kroposnya pertahanan berbasis langgar doyong semakin akut...padahal disanalah tulang punggung NU berada...
Robbii...Anzilnii..Munzalan Mubaarokaa..wa Anta Khoirul Munziliin..

Jumat, 02 Oktober 2009

MANA AKSIMU?

PERTAHANKAN AHLUSUNAH YANG SNATUN DAN PRINSIPIL DI BUMI NUSANTARA INI...ATAU ISLAM AKAN TAMPAK EKSTRIM+BERGAYA MALAIKAT?
Era Senja
Di Era yg kian senja ini, kita tak bisa menghindar dari kepungan jaring-jaring globaisasi yang sarat dengan pragmatisme, dan ma'siatisme...namun setidaknya hati kita jangan pernah dibonsai untuk tetap pegin cinta dan bisa dekat dengan yang maha abadi...
ya rabb....kumalu pada..Mu..
PERTAHANKAN AHLUSUNAH YANG SNATUN DAN PRINSIPIL DI BUMI NUSANTARA INI...ATAU ISLAM AKAN TAMPAK EKSTRIM+BERGAYA MALAIKAT?

Rabu, 02 September 2009

Kyai Karbitan VS Kyai Kagetan


KYAI KARBITAN VS KYAI KAGETAN
Oleh : M.Muslih Fathoni*

Dalam berbagai kesempatan baik secara lisan maupun tulisan Gusmus -begitu sapaan akrab KH.Musthofa Bisri- sering menyindir maraknya kyai karbitan dewasa ini. Sebuah sindiran yang ditujukan kepada mereka yang sebenarnya sangat jauh dari layak untuk dikatakan sebagai kyai. Hal ini bukan berarti Gusmus kebakaran jenggot karena (maaf) peluang Gusmus berkurang, sama sekali tidak seperti itu. Kyai merupakan gelar kehormatan atau bisa disebut honoris causa dari masyarakat, diberikan masyarakat kepada seseorang yang dianggap faham tentang syari’at agama Islam, bukan gelar akademik yang bisa ditempuh dengan jenjang study. Permasalahannya menjadi semakin runyam ketika orang yang awam tentang agama kemudian mengkyai-kyaikan diri dan dipertragis lagi dengan keikut sertaannya berfatwa masalah agama, menjawab masalah-masalah seputar akidah, mu’amalah, ataupun fiqhiyyah yang lain. Sementara media baik cetak maupun elektronik tidak mau ambil pusing dengan semua itu. Apapun, siapapun yang dianggap sedang up to date dan marketable maka media akan mem baeck up secara besar-besaran, sehingga tidak hanya artis yang dikarbit lewat almamater KDI, Indonesia Idol, dan sejenisnya, tapi muncul juga kyai-kyai karbitan hasil orbitan media masa secara massif. Berangkat dari sini akhirnya keislaman masyarakat lebih mendekat pada life style ketimbang agama itu sendiri, memakai krudung bukan berarti taat pada agama, tapi lebih cenderung karena lagi musim dan sedang trend, memaskan anak ke Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) bukan atas kesadaran betapa pentingnya arti faham al Qur’an dalam jangka panjang, tapi lebih mendekat pada karena tetangga sebelah juga anaknya masuk TPA. Siapapun yan msih punya kearifan beragama akan merasakan keprihatinan yang mendalam ketika gelar kyai disematkan pada orang yang tidak spantasnya menerima sebutan itu, bukan hanya umat yang menjadi korban fatwa sesat mereka, tapi keseimbangan alam akan ikut terusik ketiaka penghuninya sudah melampaui batas kewajaran seperti itu.

Istilah kagetan sudah sangat akrab ditelinga kita, rilisan pada salah satu edisi majalah TEMPO, konon katanya diantara pesan yang dititipkan mahagurunya mantan presiden Soeharto ialah ojo gampang gumun (jangan mudah heran). Sementara KH. Hasyim Wahid (gus Im) lewat sindiriannya, mengatakan bahwa sebenarnya kita masih gampang kagetan dengan berbagai hal yang baru, apalagi terkesan modern, canggih. Perkembanagn zaman diberbgai lini telah tampak nyata depan mata kita, sehingga dunia seakan-akan sekarang sudah terasa sangat kecil bahkan bisa digenggam tangan. Apapun yang terjadi dimuka bumi ini, baik yang layak dilakukan manusia, ataupun yang layak dilakukan hewan tapi manusia melakukannya bahkan memodifikasinya dengan hal yang lebih parah, semuanaya akan dengan mudah diakses. Begitu juga dengan berbagai penemuan-penemuan diberbagai bidang, ekonomi, budaya, teknologi, semuanya akan dengan cepat orbit mendunia. Sekali lagi dengan catatan baik yang layak untuk manusia ataupun yang mencelakakan manusia.

Pesantren sebagai wadah pencetak para kyai memang sudah teruji pertahanannya dalam rentang waktu ratusan tahun, sumbangsihnya terhadap stabilitas bangsa ini juga sangat terasa, walau tidak banyak tercover oleh media. Para santri yang layak juga disebut para kandidat kyai, mereka terbiasa hidup dengan satu irama, satu komando bahkan satu faham agama. Keseharian para santri yang terbiasa melihat satu warna itu, tidak sedikit para santri yang kemudian terjun ke masyarakat -yang dikemudian hari dipanggil kyai- mengalami sindrom kagetan ini. Para santri yang seharusnya punya otoritas berbicara masalah agama, justru ditinggalkan umat karena sindrom kagetan ini. Di zaman yang masyarakatnya sudah punya kecenderungan lebih memilih ke super/mini market ketimbang ke pasar wage seperti sekarang ini, masyarakat sangat perhatian dengan kemasan, para santri yang belum menemukan formulasi yang pas buat masyarakat atau bisa disebut gagal mengemas produk, maka santri ini akan terjrembab pada miskomunikasi dengan umat. Ketika pada corong komunikasi santri sudah gagal, maka tujuan utama dakwah akan mampet sampai disini. Berangkat dari sini santri dizaman sekarang pada dasarnya punya tantangan jauh lebih berat ketimbang santri zaman dulu. Para santri sekarang dituntut harus melek, melek wacana, melek informasi, melek dengan berbagai peluang. Apapun yang bisa menyempurnakan sesuatu yang wajib, dan yang wajib tidak bisa sempurna kecuali dengan memenuhi hal tersabut, maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula hukumnya. Apapun yang mendukung dakwah santri supaya bisa sampai pada tujuan, maka hal tersebut sebuah keharusan bagi santri untuk menempuhnya. Dengan jumlah pemeluk Islam di Indonesia yang begitu besar ini, bahkan negara terbesar dunia yang memeluk agama Islam, maka para kyai, cendikiawan muslim, para sarjana muslim, para santri, sudah saatnya bersinergi untuk menata umat yang begitu besar dan multiproblem ini. Kuantitas yang begitu besar ini jangan hanya jadi lahan eksploitasi para kapitalis, dengan pengemasan mereka yang begitu cantik, dengan polesan mambu mambu islam. Fashion Islami, seluler Islami, perbankan Islami, sementara para santri terus digilas oleh system yang sistematis dan mengglobal ini. Stop karbitan dan hindari kagetan !!!.
Wallahu a’lam..


*Penulis pernah ikut belajar Uqud al Juman di Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien Lirboyo Kediri, dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin&Filsafat Jurusan Tafsir Hadits The State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sabtu, 22 Agustus 2009

Buat anak2ku STAIN Purwokerto-Al Hidayah Group

salam....
wah....slamat yah...kalian akhirnya rampung juga jalanin tugas KKN di gunung2 purbalingga, sebuah kabupaten di daerah selatan yang sarat dengan gunung2 dan sawah2...ia kan mbok....?tuh ada lagi tambahannya banyak mbok-mbok disana....maklumlah zaman akhir jadi lebih banyak kaum mbok dari pada kaum bapak2...he...he...
ok temen2....terus persembahkan karya terbaik yah...buat STAIN purwokerto, buat alhidayah...dan dalam jangka panjang tentunya semua hikmahnya akan dipetik temen2 semua..
selamat berjuang dimedan selanjutnya...selamat menunaikan ibadah puasa...selamat menyambut romadhon 1430H
dari saya yang senantiasa mendoakan dan menyayangi kalian
Jakarta, 22 Agustus 2009

Sabtu, 18 April 2009

KANG SANTRI







KANG SANTRI
Pagi itu selasa 14 Juli 2009, seperti biasa mata saya masih terlalu berat untuk diajak melek. Kebiasaan saya di Lirboyo yang kalau malam susah tidur full sampai pagi, semakin menambah berat untuk mata saya bisa melek dipagi hari. Saya sadar pagi itu ada jadwal ujian masuk pukul 08.30 WIB di Lt.III Gedung Dirosah Islamiyah Uneversitas Islam Negri Syarif Hidayatullah (UIN SYAHIDA) Jakarta. Kesadaran disaat sadar itulah yang sengaja saya manfaatkan untuk nitip pesan ke banyak orang, baik yang dekat (satu kamar) ataupun yang jauh via miscall untuk membangunkan saya sekitar pkul 08.00 WIB. Tepat mulai pukul 08.00 alarem hp-ku berdering, sejenak saya terbangun dan melirik ke layar hp, ingatanku yang masih belum sempurna sedikit sadar kalau pada saat itu saya harus melek karena ada test perdana di UIN itu. Kebiasaan sifat bungsuku, manjaku sempat hampir kambuh yang kalau sudah bangun tapi masih ngantuk secara otomatis mata demen banget pengin nutup lagi, namun belum sempurna mata saya tertutup berbagai pesanan mulai reaksi, baik goyongan tangan temen yag ngoprak-ngoprak “heh…katanay ada test…bangun tuh..dah jam 08.00…”, belum lagi alarem jarak jauh via miscall terus berdering, sempurna juga akhirnya kesadranku untuk bisa melek penuh.
Wa ba’du…

Saya berangkat jalan kaki dari base camp Lirboyo Comunity (LC) ke UIN, lima menit kemudian sampai juga saya di Lt.III Gedung Dirosah Islamiyah UIN Jakarta itu. Sesampai diruangan, sejenak saya berfikir……’ajiibb…saya hari ini pake sepatu lagi? duduk manis di ruang kelas lagi? penyakit bawaanku dari kecil kambuh juga diruang kelas itu, saya gak pernah betah kalau pakai sepatu, bawaannya sumuk dan sumpek kaki ini rasanya, belum lagi serangan rasa kantuk yang terus mendera, wuh….hari pertama adaptasi kenalan kampus BT juga rasanya. Lebih rileks jadi kang santri, gak banyak aturan, apa adanya, dan yang jelas bebas ekspresi kalau hidup ala santri, di dunia santri masalah apapun biasanya hanya mengarah pada sopan syar’an wa ‘adatan (Sopan baik menurut syari’at maupun adat sekitar).

Lima hari di Jakarta akhirnya berlalu juga, berbagai test ujian untuk masuk Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadits telah tuntas kujalani. Waktu terus bergulir hingga tiba saatnya tanggal 6 Agstus pengumuman hasil ujian. Dengan sedikit berdebar dan banyak tidak berdebarnya (Lho…kok bisa?ya bisa-lah…kuliah bukanlah sebuah keharusan bagi saya, ada yang lebih bermakna bagi saya dalam hidup ini), saya coba browsing di internet cari informasi kelulusan, yah dengan kunci memaskan nomor ujianku 20910071, saya enter, akhirnya muncul juga nama Muhammad Muslih Jurusan Tafsir Hadits….yah alhamdulillah saya lulus diterima dikampus nomor wahid yang ada embel-embel Islamnya dalam negeri ini. Ada senang ada gamang, ada remang, ada terang, ada asa menerawang dan ada banyak rasa bercampur dalam kalbuku, dan selanjutnya akupun hanya mengalir mengikuti aliran garis-garis takdir Tuhan…..

Berpindahnya Syarif Hidayatullah dari IAIN ke UIN dan terbukanya bagi fakultas-fakultas umum di UIN ini, menghantarkan pada UIN sebgai alternatif para calon mahasiswa yang notabene mereka tidak ada basic pengetahuan agamanya sekalipun, toh di UIN tidak mau belajar tentang agama, saya mau masuk kedokteran kok, saya mau masuk psikologi kok, begitu alasan-alasan sebagian mereka yang masuk UIN fakultas non agama, sehingga tidak heran konon katanya tahun ini 2009 UIN dibanjiri pendaftar calon mahasiswa sampai dua belas ribu pendaftar (Wusssy…12.000 pendaftar…luar biasa..), nah bagi temen – temen yang merasakan langsung bagaimana proses daftar ulang (registrasi) bagi calon mahsiswa yan lulus…wuh….jan…saya sendiri sampe ngebayangin bagaimana kalau dihisab kelak di akhirat…?(Lho…kok bisa?), yah entah karena system UIN yang masih ruwet, kebanyakan loket, prosedur yang belum sistematis atau karena saking banyaknya calon mahsiswa atau juga karena faktor keduanya…yang jelas wuh…puanas, keringatan, cape, BT, antri dengan ribuan orang, sempat berfikir kapok, semuanya dioplpos jadi satu.
Demikian secuil kisah tentang kangsantri yang mulai memakai sepatu lagi setelah sekian lama tahun menggantung sepatunya itu.

Salam kangen, salam sayang buat ade2 kelas saya di Lirboyo sana, tetap tenang yah kalian disitu, tetap semangat menhafal jurumiyyah, imrithi, alfiyyah, jauharul maknun atau uqudul juman…(gini-gini muhafadzoh saya seumur hidup diLirboyo belum pernah Mutawasit lho…). Tetaplah ta’dzim yah ama yai Idris, Yai Anwar, yai Habib, yai Imam, yai Kafa, Yai An’im. Yai Zam, dan yai-yai yang lain… gak usah grusa grusu, gak usah kesusu, semua ada masanya….kalau bisa usahakan kalian tamat lirboyo..karena ternyta tamat iku yo pentin kang….

Jakarta, 2 Romadhon 1430H/23 Agustus 2009.

nyoba nyoba


selamat menjalankan tugas.....bagi seluruh keluarga besar STAIN purwokerto yang sedang KKN di Purbalingga...
salam sayang sy buat all Alhidayah comunity...
imam ngabekti,fadlu,tolut,dan bolo pentung yg lain,,,buat nok erlin,nak andry,de ANJEL,faradil,dan semua yg ga bs sy sebut satu persatu...
maaf ya ga nyebut manafi setia budi&mashudi...
mereka berdua terlalu besar dan terlalu sepuh tuk sy sebut...
bikin loading lama aj..
Sukses...buat anak2Q tersayang...
abah sayang kalian always remember for You..
hasbunallah Wa ni'mal wakiel...
salam...

Dalam blog ini