Kamis, 15 Oktober 2009

Rapuhnya NU Berbasis Langgar Doyong

Indonesia dan Keberagaman Budaya?

Sejarah telah merekam bahwa tumbuh kembangnya Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Indonesia sebuah Negara kepulauan, dan terbentuk atas ribuan atau bahkan jutaan desa-desa kecil, sangat pantas juga ketika disebutkan dengan kalimat Indonesia is a big Village.Tak bisa terbantahkan bahwa inilah Indonesia yang didalamnya terbangun atas kaum mayoritas - gabungan masyarakat pedesaan-, dan kaum minoritas – sekelompok kecil masyarakat perkotaan-.
Keberagaman adat, watak yang khas, dan ritus-ritus lokal, sebuah fenomena yang tak bisa dihindari lagi. Sehingga Islam sendiri walaupun induknya sama mengkrucut pada Qur’an dan hadits, namun keislaman di Indonesia sarat dan kental sekali dengan nuansa percampuran budaya lokal. Kenyataan seperti ini sangat dimengerti oleh mereka para pembawa Islam yang konon menurut sejarah dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, Persia, Yaman dan lain-lain. Wali songo istilah bagi penyebar Islam ditanah jawa yang berjumlah sembilan (songo) menerapkan sistem dakwahnya dengan melebur dan berasimilasi dengan adat-adat lokal, tentunya dengan integritas keilmuan, dan keislaman mereka yang tinggi, wali songo tahu dan faham betul mana yang bisa ditolerir untuk dileburkan antara akidah dan budaya, dan mana yang sifatnya prinsip ideologis yang sama sekali tidak boleh ditawar untuk dileburkan dengan unsur budaya. Sulit terbantahkan bahwa wali songo memang telah punya andil besar dalam usaha penyebaran & penegakan Islam dipulau jawa pada saat itu. Selanjutnya pada era mrid-murid mereka Islam gaya wali songo terus mengepakkan sayapnya dihampir seluruh belahan nusantara. Dengan kalimat yang tidak berlebihan layaklah wali songo juga disebut penyebar Islam dinusantara ini -tidak hanya di pulau jawa-.

Indonesia dan Pesantren
Dengan kuantitas yang mendominasi, angka 90 -koma sekian persen- telah menghantarkan klaim bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan 200 juta jiwa lebih penduduk Indonesia beridentitaskan Islam. Sebuah jumlah angka yang sebenarnya tidak dihasilkan dari abrah kedabrah atau bim salabim layaknya pesulap diatas panggung. Prestasi ini diraih melalui proses panjang, perjuangan, ketidak pamrihan, dan jerih payah para ulama militan dalam rentang waktu yang relatif lama dan berliku.

Proses belajar mengajar – atau kalau pengin dibilang mentereng- proses transfer nalar intelektual dan sepiritual sebenarnya sudah berlangsung lama jauh hari sebelum belanda mendarat mendzolimi bangsa ini. Dari suarau-surau kecil dipedesaan proses belajar mengajar(baca: pengajian) terus berlangsung. Pelan, perlahan, namun gerakan ini konkrit dan membuahkan hasil yang nyata. Islam terus berkembang dan mengakar sampai pada tataran grass root (lapisan bawah). Semangat, kepedulian bahkan fanatisme masyarakat nusantara terhadap Islam semaikn meningkat. Dari sinilah lompatan demi lompatan terus terjadi, sehingga suarau-suarau kecil atau bisa disebut langgar-langgar doyong berkembang melahirkan bilik-bilik (kamar-kamar). Dari sinilah cikal bakal pesantren terlahir. Dari sistem yang sanagt tradisional, klasikal hingga terus berkembang dengan berbagai multiragam macam pesantren. Keluaran dari pesantren-pesantren inilah yang kedepan meneruskan estafet perjuangan para ulama terdahulu di Indonesia. Pesantren telah dan masih menjadi agen peubahan peradaban dari Jahiliyah Indonesiais menuju peradaban Islam. Pesantren telah menyumbangkan fakta sejarah mencetak kader-kader muslim jauh hari bahkan jauh tahun sebelum peguruan tinggi maupun universitas menjamur bertebaran di nusantara ini.

Pada tahun 1926M dengan dilokomotofi Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari komunitas kaum pesantrten membidani lahirnya sebuah wadah jam’iyyah diniyyah yang kemudian diberi nama Nahdlotul Ulama(NU). Kaum santri bisa bergabung dengan NU ini untuk bisa lebih tertata dan terorganisir berbagai macam kegiatannya. Dari sinilah titik awal korelasi erat antara pesantren dan NU, antra para kyai, santri dan NU. Dalam tinjauan lebih luas dari sinilah hubungan erat antara pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tradisional yang membumi di Indonesia dengan Indonesia sebagai Negara.

Bobolnya Gawang Pertahanan
Globalisasi dan modernisme yang menggiring pada pola hedonisme dan pragmatisme disadari atau tidak berpengaruh pula pada pergeseran pola piker generasi NU. Jargon andalan Al muhafadhotu ‘ala qodiimi as shoolih wal akhdzu bil jadiid al aslhah sering bias dalam tataran perakteknya. Para kader muda NU sering kurang percaya diri dengan apa yang ada dalam khazanah NU. Lompat sana-lompat sini, dan glombang melompat ini terus mengalir pada pos-pos asing yang mungkin dianggap menawarkan iming-iming yang lebih menjanjikan. Dari sini babak kroposnya pertahanan berbasis langgar doyong semakin akut...padahal disanalah tulang punggung NU berada...
Robbii...Anzilnii..Munzalan Mubaarokaa..wa Anta Khoirul Munziliin..


*. Penulis adalah Lulusan Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadi’ien Lirboyo Kediri2008, dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin&Filsafat Jurusan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Dalam blog ini